Tuesday, March 20, 2018

Gagal Ginjal : Rasa pusing Setelah Cuci Darah

Rasa pusing Setelah Cuci Darah Atau Sedang melakukan cuci darah.
   terasa pusing sekali dan bagaiman cara untuk mengatasinya.



                                   Maaf belum sempat posting

Monday, March 19, 2018

Terjemah ihya ulumiddin jilid 1 bab 2 tentang penjelasan ilmu yang fardhu kifayah,

Wara' orang-orang yang shalih yaitu menjaga diri dari syubhat­-syubhat yang padanya menerima kemungkinan-kemungkinan. Beliau SAW bersabda :

Artinya : "Tinggalkan sesuatu yang meragukan kamu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu " H.R. At Tirmidzi, dan dishahihkan oleh An Nasa'i, dan Ibnu Hibban dari hadits Hasan. bin Ali.

Dan behau SAW bersabda
Artinya : "Dosa adalah penyakit hati ". H.R. Al Baihaqi dari Ibnu Masud, dan riwayat Al 'Adni secara mauquf.

b.    Wara' orang-orang yang bertakwa, yaitu meninggalkan yang halal yang semata-mata ia khawatir hal itu menyampaikan kepada yang haram. Behau SAW bersabda

Artinya "Seseorang itu tidak termasuk golongan orang-orang
yang bertakwa sehingga ia meninggalkan sesuatu yang
tidak mengapa karena takut terhadap sesuatu yang
membahayakan". H.R. At Tirmidzi, dihasankan oleh Ibnu Majah dan Hakim dan ia menshahihkannya dari hadits Athiyah As Sa'di.


Demikian itu seperti wara' dari membicarakan keadaan manusia karena takut terlanjur untuk mengumpat. Dan wara' dari mema­kan sesuatu yang diinginkan karena takut gelora ketangkasan dan kesombongan yang menyampaikan kepada melakukan hal-hal yang terlarang.

d. Wara' orang-orang yang jujur (shiddiqin) yaitu berpaling dari sesuatu yang selain Allah Ta'ala karena takut berpaling sesa'at umurnya kepada sesuatu yang tidak berfaidah karena untuk menambah dekat ke sisi Allah 'Azza Wa Jalla. Meskipun ia menge­tahui dan yakin bahwa hal itu tidak menyampaikan, kepada yang haram.
Seluruh derajat/tingkatan ini keluar dari pandangan fakih, kecuali tingkatan pertama yaitu wara' saksi dan hakim, dan yang merusak­kan keadilan sedangkan melakukan hal tersebut itu tidak meniada­kan dosa di akhirat.

Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : "Mintalah fatwa kepada hatimu meskipun mereka (orang­orang) telah memberi fatwa kepadamu, meskipun mereka telah memberi fatwa kepadamu, meksipun mereka telah memberi fatwa kepadamu" H.R. Ahmad dari hadits Wabishah.

Seorang fakih tidaklah membicarakan mengenai penyakit-penyakit hati dan bagaimana cara mengamalkannya. Namun yang ia bicara­kan hanya mengenai apa yang mencacatkan keadilan saja.

Jika demikian maka seluruh pandangan fakih itu berkaitan dengan dunia yang dengan dunia itu baiknya jalan akhirat. Jika ia membi­carakan mengenai sesuatu dari sifat-sifat hati dan hukum-hukum akhi­rat maka itu masuk di dalam pembicaraannya yang kekanak-kanakan sebagaimana kadang-kadang masuk di dalam pembicaraannya sesuatu dari ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu perbintangan dan ilmu kalam. Dan sebagaimana hikmah itu masuk di dalam nahwu dan syi'ir.
Sufyan Ats Tsauri adalah imam dalam ilmu zhahir berkata "Sesungguhnya menuntut ini tidak termasuk bekal akhirat".

 Bagai­manakah ? karena mereka sepakat bahwasanya kemuliaan dalam ilmu adalah pengamalannya. Maka bagaimanakah ia menduga bahwasa­nya ia mengetahui zhihar (suami menyerupakan isteri dengan punggung ibunya sendiri), li'an (sumpah untuk mengutuk isteri karena berbuat serong), salam (pesan barang), ijarah (sewa menyewa) dan sharaf (tukar menukar uang tunai). Barang siapa yang belajar hal-hal ini untuk men‑dekatkan diri kepada Allah Ta'ala maka is orang gila. Amal itu hanya­lah dengan hati dan anggauta-anggauta badan dalam keta'atan-­keta'atan, sedangkan kemuliaan itu adalah pengamalan-pengamalan itu.

Jika kamu bertanya : "Mengapakah kamu samakan antara ilmu fiqh dan ilmu kedokteran, karena ilmu kedokteran juga berkaitan dengan dunia, yaitu sehatnya badan. Dan itu juga berkaitan dengan baiknya agama. Penyamaan ini berlawanan dengan ijma' muslimin.

Ketahuilah bahwa penyamaan itu tidak pasti bahkan di antara keduanya terdapat perbedaan, di mana fiqh itu lebih mulia dari pada­nya dalam tiga segi, yaitu :

a.       Bahwasanya fiqh itu ilmu syara' karena diambil dari Nabi, beda dengan ilmu kedokteran karena ilmu kedokteran itu bukan ter­masuk ilmu syara'.
b.       Bahwasanya ilmu fiqh itu tidak dapat tidak dibutuhkan oleh sese­orang dari penempuh jalan akhirat sama sekali baik oleh orang yang sehat maupun sakit. Adapun ilmu kedokteran maka hanya dibu­tuhkan oleh orang-orang yang sakit, dan mereka itu sedikit.
c.       Bahwasanya ilmu fiqh itu berdampingan dengan ilmu jalan akhi­rat, karena ilmu fiqh itu melihat amal-amal anggauta-anggauta badan sedangkan sumber tempat timbulnya aural-aural anggauta badan adalah sifat-sifat hati.

Amal-amal yang terpuji adalah yang keluar dari akhlak yang ter­puji dan menyelamatkan di akhirat. Sedangkan yang tercela adalah yang keluar dari yang tercela, dan tidak Samar hubungan anggauta­anggauta badan dengan hati. Adapun kesehatan dan sakit maka tem­pat timbulnya adalah kejernihan dalam percampuran. Dan itu ter­masuk dalam sifat-sifat badan, bukan sifat-sifat hati. Kapanpun ilmu fiqh dibandingkan dengan ilmu kedokteran maka tampaklah kemu­liaan ilmu fiqh itu. Dan apabila ilmu fiqh dibandingkan dengan ilmu jalan akhirat maka nyatalah kemuliaan ilmu jalan akhirat.

Jika kamu berkata : "Rincilah kepadaku ilmu jalan akhirat dengan perincian yang dapat menunjukkan penafsirannya meskipun tidak mungkin untuk menuntaskan perinciannya."

Ketahuilah bahwasanya ilmu jalan akhirat itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
a.    Ilmu mukasyafah
b.      Ilmu mu'amalah.

Bagian pertama, yaitu ilmu mukasyafah adalah ilmu batin, dan itu adalah puncak segala ilmu. Sebagian 'arifin (orang-orang yang ma'rifat kepada Allah) berkata : "Barang siapa yang tidak memiliki bagian dari ilmu ini, maka saya khawatirkan ia akan buruk kesudah­annya (suu-ul khaatimah). Serendah-rendah bagian dari padanya ada­lah membenarkan (tashdiq) nya dan pasrah kepada ahlinya".

Orang lain berkata : "Barang siapa yang mempunyai dua pekerti yaitu bid'ah atau sombong maka ia tidak dibukakan sedikitpun dari ilmu ini".

Dan ada yang mengatakan : "Barang siapa yang cinta dunia atau terus menerus menuruti hawa nafsunya maka ia tidak dapat mentah­kikkannya, dan kadang-kadang ia mentahkikkan ilmu-ilmu yang lain. Dan sedikit-dikit hukuman orang yang mengingkarinya adalah orang tersebut tidak merasakan sedikitpun dari ilmu itu. Dan ia (orang yang mengatakan ini) berdendang dengan perkataannya :

Artinya : "Ridhalah kepada orang yang tidak hadir kepadamu akan ketidak hadirannya, maka itu (ketidak hadirannya) adalah dosa yang hukumannya sudah terkandung di dalamnya ".

Dan dialah ilmu shiddiqin dan muqarrabin (orang-orang yang sangat membenarkan keimanan dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah).

Saya maksudkan ilmu mukasyafah adalah ungkapan menge­nai cahaya yang tampak di dalam hati ketika hati itu dibersihkan dan disucikan dari sifat-sifatnya yang tercela

. Tersingkaplah dari cahaya itu beberapa hal yang banyak nama-namanya telah terdengar sebelum­nya, di mana ia ragu beberapa maknanya yang global dan tidak jelas maka ketika itu menjadi jelas sehingga tercapailah ma'rifat yang hakiki mengenai Dzat Allah Yang Maha Suci, sifat-sifatnya Yang Kekal dan Sempurna, perbuatan-perbuatanNya dan hukumNya dalam mencip­takan dunia dan akhirat.

Dan segi pengaturannya bagi akhirat lebih atas dari pada dunia, mengetahui ma'na kenabian, nabi, ma'na wahyu, ma'na syaithan, ma'na lafal malaikat dan syaithan, cara Syaithan memusuhi manusia, cara penampakan malaikat bagi para Nabi dan cara sampainya wahyu kepada mereka. Mengetahui/mengenal kera­jaan langit dan bumi, mengenai hati dan cara perbenturan bala ten­tara malaikat dan syaithan di dalam hati, mengetahui perbedaan antara langkah malaikat dan langkah syaithan, mengetahui akhirat, syurga,neraka, siksa kubur, shirat jembatan), mizan (timbangan amal), hisab (perhitungan amal) dan ma'na firman Allah Ta'ala :

Artinya : "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu inisebagai penghitung terhadapmu" (Al Isra' : 14).

Dan ma'na firmanNya Ta'ala

Artinya : "Dan sesungguhnya kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui" (Al 'Ankabut : 64).

Dan ma'na bertemu dengan Allah 'Azza Wa Jalla, melihat DzatNya Yang Maha Mulia, ma'na dekat dari padaNya dan tinggal di sam­pingNya, ma'na memperoleh kebahagiaan dengan menemani mala­ul a'laa (kelompok orang-orang yang tinggi martabat di sisi Nya), ber­teman dengan para malaikat dan para Nabi. Dan ma'na perbedaan derajat ahli (penghuni) syurga sehingga sebagiannya melihat kepada sebagian yang lain sebagaimana melihat bintang yang cemerlang di langit yang jauh dan sebagainya yang perinciannya itu panjang. Karena bagi manusia dalam pengertian-pengertian urusan ini setelah mem­benarkan pokok-pokoknya adalah terdapat maqam-maqam yang berbeda-beda.

Sebagian mereka itu melihat bahwa seluruhnya itu adalah perumpamaan-perumpamaan. Dan sesuatu yang dijanjikan oleh Allah bagi hamba-hambaNya yang saleh yaitu sesuatu yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga dan tidak tergores oleh hati manusia dan bahwasanya tidak ada syurga bersama makhluk kecuali sifat-sifat dan nama-nama.

Dan sebagian mereka berpendapat bahwa sebagiannya itu perumpamaan-perumpamaan dan sebagiannya sesuai dengan hakikat­-hakikat yang difahami oleh lafal-lafalnya.
Demikian juga sebagian mereka berpendapat bahwa puncak ma'rifat kepada Allah 'Azza Wa Jalla adalah mengakui kelemahan mengenalNya.

Artinya : "Sesungguhnya sebagian dari ilmu itu seperti keadaan sesuatu yang tersembunyi yang tidak diketahui kecuali oleh ahli ma'rifah kepada Allah Ta'ala. Apabila mereka meng­ucapkannya maka tidak bodoh padanya kecuali orang-orang yang tertipu terhadap Allah Ta'ala maka janganlah kamu menghina orang 'alim yang diberi ilmu oleh Allah Ta'ala karena Allah 'Azza Wa Jalla tidak menghinanya ketika Dia memberinya dengan ilmu itu ".10) H.R. Abu Abdir Rahman As Salmi dari hadits Abu Hurairah.


Yang kedua ilmu mu'amalah yaitu ilmu perihal keadaan hati.

Adapun yang terpuji dari padanya adalah seperti sabar, syukur, takut, berharap, ridha, zuhud, takwa, qana'ah (puas dengan yang ada), dermawan, mengenal anugerah Allah Ta'ala dalam seluruh peri ke­adaan, berbuat kebajikan, berprasangka baik, baik budi pekerti, baik pergaulan, jujur dan ikhlas.

Mengenal hakikat keadaan-keadaan, batas-batas dan sebab­-sebabnya yang diusahakan, buahnya, tanda-tandanya dan mengobati sesuatu yang lemah dari padanya sehingga itu menjadi kuat, dan sesuatu yang hilang sehingga kembali adalah termasuk ilmu akhirat.

Adapun yang tercela ialah : Takut miskin, marah kepada yang ditaqdirkan, menipu, -dendam, dengki, mencari ketinggian, senang lama hidup didunia untuk bersenang-senang, sombong, riya', marah, kerena bermusuhan, marah, loba, kikir, sombong, angkuh, congkak, bangga dengan nikmat yang datang, menghormati orang yang kaya, menghina orang yang miskin, berbangga diri, berlomba-lomba, sombong ter­hadap kebenaran, bergelimang dalam hal yang tidak penting, banyak bicara, memuji diri, banyak menghias diri, berminyak air, ujub, banyak membicarakan cacat orang dan melalaikan cacat sendiri, hilang pera­saan sedih dan takut dari hati, sangat memenangkan nafsu apabila merasa diremehkan, lemah dalam menolong kebenaran, menjadikan teman dzahir atas musuh batin, merasa aman dari tipu days Allah yang Mahn suci dalam menarik apa saja yang diberikan Nya, mengandal­kan kepada ketaatan, murka, khianat, tipu menipu, panjang angan­angan, kerns dan kasar, gembira dengan dunia dan berduka cita karena kehilangan dunia, berjinak hati dengan makhluq dan merasa sepi karena bercerai dengan mereka, penentang, ceroboh, tergesa-gesa, sedi­kit malu dan sedikit rasa belas kasihannya.

Ini dan yang seumpama dengannya, dari sifat-sifat hati adalah ladang kekejian dan tempat-tempat tumbuhnya perbuatan-perbuatan yang dilarang. Lawannya adalah terpuji sumber keta'atan dan pen­dekatan diri (kepada Allah). Mengetahui batas-batas urusan ini, hakekat-hakekat, sebab-sebab, buah-buah dan pengobatannya ada­lah ilmu akherat, dan fardhu 'ain menurut ulama-ulama akherat, orang yang berpaling dari padanya adalah orang yang binasa dari kekua­saan Rajanya raja-raja diakherat, sebagaimana orang yang berpaling dari aural-aural lahir, orang yang binasa dengan pedang raja-raja di dunia, karena hukum fiqih fatwa ahli fiqih dunia. Maka pandangan ulama fiqih mengenai fardhu'ain adalah karena disandarkan kepada kemaslahatan dunia, sedang ini adalah disandarkan kepada kemas­lahatan akherat.
Seandainya seseorang faqih ditanya tentang salah satu ma'na dari ma'na-ma'na ini sehingga tentang ikhlas misalnya, atau tentang tawa­kal, atau tentang menjaga dari riya' niscaya ia terhenti padanya pada­hal itu termasuk fardhu 'ainnya yang dilengahkannya itu menjadi kebi­nasaannya di akherat.

Seandainya kamu bertanya kepadanya tentang li’an, zhihar, ber­pacu dan memanah, niscaya ia akan mendatangkan kepadamu bebe­rapa jilid dan cabang-cabang yang detail yang memakan waktu bertahun-tahun, sedangkan ia tidak membutuhkan sedikitpun dari padanya, dan jika dibutuhkan niscaya negeri itu tidak kosong dari orang yang melakukannya dan cukup lelah baginya dan ia selalu lelah padanya siang dan malam, dalam menghafal dan mempelajarinya. Dan ia lupa apa yang menjadi kepentingan dirinya dalam agama.

Apabila hal itu dikembangkan padanya maka ia berkata : "Saya sibuk pada­nya karena hal itu adalah ilmu agama dan fardhu kifayah. Dan ia menipu kepada dirinya dan orang lain dalam mempelajarinya.

Orang yang cerdas itu mengetahui seandainya maksudnya itu menunaikan hak perintah pada fardhu kifayah, niscaya ia mendahu­lukan fardhu 'ainnya. Bahkan ia mendahulukan banyak dari fardhu­-fardhu kifayah itu.

Berapa banyak negeri yang padanya tidak ada dok­ter kecuali dari golongan dzimmi. Padahal tidak bisa diterima kesak­sian mereka mengenai sesuatu yang berkaitan dengan ilmu kedokter­an dari hukum-hukum fiqih.
Kemudian kami tidak melihat seseorang yang sibuk (bekerja) padanya, dan mereka mendewakan diri secara tidak benar atas ilmu fiqh lebih-lebih masalah khilafiyah dan perdebatan. Sedangkan negeri

penuh dengan para fuqoha yang sibuk memberikan fatwa-fatwa dan menjawab kejadian-kejadian.

Maka wahai kiranya bagaimanakah fuqoha agama memberi kemurahan untuk sibuk dengan fardhu kifayah yang telah dilakukan oleh jema'ah dan melengahkan sesuatu yang belum ada yang melaksanakannya. Ini tidak ada sebabnya kecuali ilmu kedokteran itu tidak mudah untuk sampai kepada penanganan waqaf, wasiat, pengawas harta-harta yatim, menjabat hakim dan pemerin­tahan, terkemuka dikalangan teman-teman dan kuasa mengalahkan lawan-lawan.

Jauhlah ilmu agama penuh bekasnya karena tipuan/ mencampur adukkan para ulama us suu' (jahat).

Allah Ta'ala lah tempat memohon pertolongan dan kepadanya memohon perlindungan agar kita dilindungi dari tipuan ini yang mem­buat kemurkaan Allah Yang Maha Pemurah dan dari tertawaan syetan.

Orang-orang yang wara' dari ulama zhahir mengaku kelebihan ulama bathin dan pemilih hati (yang jernih).

Imam Asy Syafi'i ra duduk dihadapan Syaiban, seorang penggembala sebagaimana duduknya anak kecil di sekolah dimana ia bertanya "Bagaimana ia membuat ini dan ini ?" Lalu dikatakan kepadanya "Seperti kamu, orang Badui ini bertanya". Maka ia (Asy Syafi'i) menjawab : "Sesungguhnya hal ini sesuai dengan apa yang kamu lupakan".

Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Mu'in berbeda pendapat ter­hadap Ma'ruf Al Karkhi sedang mengenai ilmu Zhahir ia tidak sede­rajat dengan keduanya. Keduanya bertanya kepadanya : " Bagaimana, Sedangkan Rasulullah SAW. telah bersabda ketika ditanya kepada­nya :

Artinya : "Bagaimana ia berbuat apabila datang kepada kami urusan yang tidak kami jumpai dalam kitab (Al Qur'an) dan As Sunnah ?" Lalu beliau bersabda : "Bertanyalah kepada orang-orang sholeh dan jadikanlah urusan itu sebagai bahan musyawarah dengan mereka".11) H.R. Ath Thabrani dari hadits Ibnu Abbas.

Oleh karena itulah dikatakan bahwa ulama zhahir itu adalah hiasan bumf dan kerajaan, sedangkan ulama bathin adalah hiasan langit dan alam malakut.

sedangkan Al Juned rahimahullah berkata : "Pada suatu hari guruku bertanya kepadaku : "Siapakah teman dudukmu ?" "Al Muhasibi" Maka ia berkata : "Ya Betul, ambillah ilmunya, keso­panannya, dan tinggalkanlah dari engkau pemecahannya dalam ilmu kalam dan kembalikanlah kepada para ulama ilmu kalam" Kemu­dian ketika saya berpaling saya mendengar dia berkata : "Semoga Allah menjadikan ahli Hadits yang sufi, dan jangan Dia menjadikan kamu menjadi sufi yang ahli Hadits",

la mengisyaratkan bahwa orang yang mendapat hadits dan ilmu, kemudian ia bertasawwuf maka ia akan mendapat kemenangan dan orang yang bertasawwuf sebelum berilmu maka akan membahayakan dirinya sendiri".

Jika kamu bertanya : "Mengapa kamu tidak memasukkan ilmu kalam dan falsafah dalam ilmu telah jelas bahwa keduanya tercela atau terpuji ?"

 Ketahuilah bahwa hasil yang dikandung oleh ilmu kalam ialah dalil-dalil yang bermanfaat, Al Qur'an dan Hadits-hadits itu melengkapinya. Yang diluar dari Al. Qur'an dan Sunnah maka ada­kalanya perdebatan yang tercela dan ini termasuk perbuatan bid'ah yang penjelasannya akan datang. Dan adakalanya menyebarkan kebu­rukan yang menyangkut dengan kelompok-kelompoknya dan meman­jang lebarkan dengan mengambil kata-kata yang kebanyakan batal dan salah direndahkan oleh naluri dan ditolak oleh pendengaran. Dan sebahagiannya lagi masuk pada sesuatu yang tak ada hubungannya dengan agama, dan sedikitpun tidak dikenal dari padanya pada maa pertama.

Masuk padanya itu secara global adalah termasuk bid'ah. Tetapi hukumnya sekarang berubah karena terdapat bid'ah yang memalingkan dari ketentuan Al Qur'an dan As Sunnah, dan mun­cullah golongan yang menggabungkan syubhat dan mereka menyu­sun kata-kata karangan maka sesuatu yang dilarang itu menduduki hukum dharuri dan diizinkan bahkan menjadi fardhu kifayah.

Dan itulah perkiraan yang dihadapi oleh orang yang membuat bid'ah apabila ia bermaksud untuk mengajak bid'ah. Itu sampai batas tertentu, insya Allah Ta'ala akan kami sebutkan pada bab berikut ini.

Adapun filsafat bukanlah ilmu yang mandiri tetapi ilmu filsafat itu terdiri dari empat bagian, yaitu :

a. Ilmu ukur dan ilmu hitung.

Kedua ilmu ini boleh sebagaimana penjelasan terdahulu. Dan tidak dicegah dari keduanya kecuali orang yang dikhawatirkan ia melampaui batas kepada ilmu-ilmu yang tercela. Karena sebagian besar orang-orang yang terlatih padanya telah keluar daripadanya kepada bid'ah-bid'ah. Maka orang lemah dijaga daripadanya, bukan karena 'ain (materi) keduanya sebagaimana anak kecil dijaga dari tepi sungai karena dikhawa­tirkan ia terjatuh ke dalam sungai. Dan sebagaimana orang yang baru saja masuk Islam dijaga dari pergaulan orang-orang kafir karena ia dikhawatirkan atasnya, dalam pada itu orang yang kuat itu tidak disunahkan bergaul dengan orang-orang kafir itu.

b.  Ilmu Mantiq,
 yaitu membahas tentang segi dalil dan syarat­-syaratnya, baras dan syarat-syaratnya. Keduanya masuk dalam ilmu kalam.

c.     Ilmu Ketuhanan (ilahiyyat),

yaitu membahas tentang Dzat Allah SWT dan sifat-sifatNya dan itu termasuk dalam ilmu kalam juga. Sedangkan para filosof itu tidak menyendiri padanya dengan ben­tuk yang lain dari ilmu. Tetapi mereka menyendiri dengan aliran­-aliran sebagiannya kufur dan sebagiannya bid'ah. Dan sebagai­mana kemu'tazilahan itu bukan ilmu yang mandiri tetapi itu milik sekelompok mutakallimin. Orang-orang yang ahli pembahasan dan penalaran itu menyendiri dengan aliran-aliran yang batal, maka demikian juga para filosof.

d.    Ilmu Alam,

sebagiannya bertentangan dengan syara' dan agama yang benar. Itu adalah kebodohan dan bukan ilmu sehingga dima­sukkan kedalam bagian-bagian ilmu. Dan sebagiannya membahas tentang sifat-sifat tubuh kekhususan-kekhususannya, cara beralih dan berubahnya tubuh-tubuh itu. Itu mirip dengan pandangan para dokter hanya saja para dokter itu melihat tubuh manusia secara khusus dari segi sakit dan sehat sedang mereka melihat seluruh tubuh dari segi berubah dan bergeraknya.

Tetapi ilmu kedokteran mem­punyai kelebihan dari padanya yaitu ilmu kedokteran itu dibutuh­kan. Jika demikian maka ilmu kalam menjadi termasuk dalam golongan perbuatan wajib kifayah untuk menjaga hati orang-orang yang awam dari pengkhayalan orang yang membuat bid'ah karena hal itu terjadi dengan terjadinya bid'ah sebagaimana kebutuhan manusia menyewa pengawal di jalan hajji karena terjadinya kedza­liman dan suasana bangsa Arab.

Seandainya bangsa 'arab itu telah meninggalkan permusuhan mereka maka menyewa penjaga itu tidak termasuk syarat-syarat perjalanan hajji. Oleh karena itu seandai­nya orang yang berbuat bid'ah itu telah meninggalkan kesalahan-­kesalahannya maka tidak butuh untuk menambah atas apa yang dikenal pada masa shahabat ra.

Hendaklah mutakallim (ahli ilmu kalam) itu mengetahui batas­nya dalam agama. Sedangkan kedudukannya dalam agama adalah seperti kedudukannya pengawal didalam perjalanan hajji. Apabila pengawal mengosongkan pengawalan niscaya ia tidak termasuk orang yang berhajji. Sedang mutakallim apabila mengosongkan diskusi clan pembelaan, tidak menempuh jalan akhirat dan tidak sibuk, dengan mendidik dan memperbaiki hati. Ia tidak termasuk golongan ulama agama sama sekali. Disisi mutakallim itu tidak termasuk dalam agama kecuali aqidah yang padanya ia bersekutu dengan seluruh orang-orang awam. Itu termasuk amal-amal lahir hati dan lidah. Ia berbeda dari orang umum dengan pekerjaan debat dan penjagaan.

Adapun ma'rifat kepada Allah Ta'ala, sifat-sifatNya, perbuatan­perbuatanNya dan seluruh apa yang telah kami tunjuk dalam ilmu Mukasyafah maka tidak diperoleh dari ilmu kalam bahkan hamper-­hampir ilmu kalam itu tirai daripadanya dan pencegah daripadanya. Sampainya itu hanyalah dengan mujahadah (kesungguhan) yang dija­dikan oleh Allah Ta'ala sebagai muqaddimah bagi petunjuk, dimana Allah Ta'ala berfirman :

Artinya : "Orang-orang yang sungguh-sungguh pada Kami, niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan jalanKami dan sesungguhnya Allah bersama-sama orang yang berbuat kebajikan ". (AI Ankabut 69).

Jika saya berkata : Sungguh saya berulang kali menyampaikan mutakallim itu untuk menjaga aqidah orang-orang awam dari keka­cauan orang yang membuat bid'ah sebagaimana batas pengawal ada­lah menjaga pakaian orang yang hajji dari rampasan orang Arab.
Dan berulang kali saya sampaikan batas faqih itu adalah meme­lihara undang-undang yang dengannya itu penguasa menahan keja­hatan sebagian orang-orang yang bermusuhan dari sebagian yang lain.

Keduanya itu adalah dua tingkatan yang turun dibandingkan dengan ilmu agama. Ulama umat yang terkenal dengan keutamaan adalah para fuqoha mutakallimun. Mereka adalah makhluk yang paling utama disisi Allah Ta'ala maka bagaimanakah derajat mereka menu-run sampai kepada kedudukan yang rendah ini dengan dibandingkan kepada ilmu agama ?

Ketahuilah bahwa orang yang mengenai kebenaran orang-orang adalah bingung dalam hambatan-hambatan kesesatan, maka ketahui­lah kebenaran itu niscaya kamu mengetahui orang-orang yang benar itu, jika kamu menempuh jalan kebenaran itu.

Dan jika kamu puas dengan taklid dan melihat kepada derajat­-derajat/tingkat-tingkat keutamaan yang masyhur dikalangan manu­sia maka janganlah kamu lalai dari shahabat dan tingginya kedudukan mereka. Sungguh orang-orang yang telah saya kemukakan penyebutan mereka sepakat atas ketermukaan mereka (shahabat), dan mereka dalam beragama tidak ditemui tujuan nafsu mereka. Dan tidak me­nyulitkan derap mereka. Mereka tidak terkemuka dengan ilmu kalam dan fiqh namun mereka terkemuka dalam ilmu akhirat dan menem­puh jalannya.

Abu Bakar ra. tidaklah melebihi manusia dengan banyaknya puasa, shalat dan banyaknya riwayat, fatwa dan ilmu kalam tetapi dengan sesuatu yang mulia didalam badannya sebagaimana disaksi­kan oleh junjungan para Rasulullah SAW.

Maka hendaklah keinginan­mu untuk menuntut rahasia itu, dan itulah pertama yang indah dan mutiara yang tersimpan.
Tinggalkanlah darimu apa yang sesuai dengan kebanyakan manu­sia, atas apa yang diagungkan dan dihormatinya karena, beberapa sebab dan penarik-penarik yang perinciannya itu panjang.


Rasulullah SAW diwafatkan dengan meninggalkan ribuan sha­habat ra. Seluruhnya mengetahui tentang Allah. Rasulullah SAW menguji mereka, sedangkan dikalangan mereka tidak ada seorangpun yang baik dalam membuat ilmu kalam, dan tidak menegakkan diri­nya untuk berfatwa kecuali belasan orang. Ibnu ra termasuk golongan mereka ini.

Apabila ia ditanya tentang fatwa maka ia menjawab kepada orang yang ditanya itu : "Pergilah kepada Fulan, amir yang meng­urusi urusan-urusan manusia, dan letakkanlah di tengkuknya" seba­gai isyarat bahwa fatwa mengenai keputusan-keputusan dan hokum-­hukum termasuk mengikuti pemerintahan dan kekuasaan.

Ketika Umar ra. meninggal, Ibnu Mas'ud berkata : "Telah meninggal 9/10 ilmu". Lalu ditanyakan kepadanya : "Apakah kamu katakan hal itu, sedangkan dikalangan kita terdapat shahabat-shahabat besar ?" Lalu ia menjawab : "Saya tidak. menghendaki ilmu fatwa dan hukum, namun saya kehendaki ilmu mengenai Allah Ta'ala".

Apakah kamu melihat bahwa ia menghendaki ilmu kalam dan debat ? Maka bagaimana keadaanmu tidak loba untuk mengetahui ilmu yang meninggal 9/10 nya dengan meninggalnya Umar ? Dan Umarlah yang menutup ilmu kalam dan debat, dan ia memukul Sha­bigh dengan cambuk ketika ia mengajukan soal kepadanya mengenai pertentangan dua ayat Kitabullah (Al Qur'an), Umar mendiamkan­nya dan menyuruh manusia untuk mendiamkannya.

Adapun perkataanmu bahwa orang-orang yang terkenal dari kalangan ulama adalah fuqaha dan mutakallimin, maka ketahuilah• bahwa apa yang dengannya diperoleh keutamaan disisi Allah itu sesuatu, sedangkan apa yang dengannya diperoleh ketenaran disisi manusia adalah sesuatu yang lain.

Abu Bakar Ash Shiddiq ra terkenal karena menjabat khalifah pada hal ia mendapat keutamaan dengan rahasia yang terhormat di dalam hatinya. 12) H.R. At Tirmidzi dan says tidak mendapatkannya marfu')

Umar ra terkenal dengan politiknya sedangkan keutamaannya ada­lah dengan ilmu mengenai Allah yang mana 9/10 ilmu itu meninggal dengan meninggalnya Umar, dan dengan tujuannya mendekatkan diri kepada Allah 'Azza Wa Jalla dalam pemerintahannya, keadilannya dan belas kasihnya kepada makhlukNya. Itu adalah urusan batin di dalam rahasianya.

Adapun seluruh amal-amalnya yang lahir (tampak) maka terbayang keluar dari orang yang mencari pangkat, nama, sum'ah (memperdengarkan aural) dan senang terkenal. Maka menjadilah ter­kenal itu dalam sesuatu yang membinasakan sedangkan keutamaan itu di dalam rahasia yang tidak terlihat oleh seseorang.

Para fuqaha' dan mutakallimun itu seperti khalifah, hakim, dan ulama'. Mereka terbagi-bagi. Sebagian dari mereka ada yang menghen­daki Allah Yang Maha Suci dengan ilmunya, fatwanya dan belaan­nya terhadap Sunnah NabiNya, dan ia tidak menuntut riya' dan sum'ah. Mereka itulah orang-orang yang mendapat keridhaan Allah Ta'ala, dimana, keutamaan mereka di sisi Allah adalah karena mereka mengamalkan ilmu mereka dan karena mereka berkemauan kepada Dzat Allah Yang Maha Suci dengan fatwa dan pandangan mereka;

Sesungguhnya setiap ilmu yang diamalkan itu adalah perbuatan yang diusahakan, dan tidak seluruh amal itu adalah ilmu. Seorang dokter dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan ilmuNya maka ia diberi pahala atas ilmunya dari segi ia beramal karena Allah SWT. Seorang penguasa (sultan) itu menjadi penengah di antara makhluk Allah maka ia diridhai di sisi Allah Yang Maha Suci dan diberi pahala,

bukan karena ia bertanggung jawab dengan ilmu agama tetapi dari segi ia menyandang perbuatan yang dengannya ia bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah 'Azza Wa Jalla dengan ilmunya.

Bagian-bagian sesuatu yang dapat untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu ada tiga, yaitu

a.    Ilmu semata, yaitu ilmu mukasyafah,
b.    Amal semata, yaitu seperti keadilan penguasa misalnya, dan peme­liharaannya terhadap manusia.
c.    Tersusun dari aural clan ilmu yaitu ilmu jalan akhirat. Pemilik ilmu ini adalah sebagian dari ulama clan orang-orang yang beramal.

Maka lihatlah dirimu, apakah kamu pada hari Kiamat akan berada di dalam golongan ulama Allah atau orang-orang yang beramal karena Allah Ta'ala atau di dalam kedua golongan itu ? Maka buatlah bagianmu itu bersarna setiap kelompok dari keduanya. Ini adalah lebih penting atasmu dari pada ikut-ikutan karena semata-mata mencari ketenaran sebagaimana dikatakan :

Artinya : "Ambillah apa yang kamu lihat dan tinggalkanlah sesuatu yang kamu dengar, untuk (menyaksikan) terbitnya mata­hari Zuhal tidak dapat tidak kamu butuhkan. "
Atas dasar kami akan menukil dari perilaku fuqaha' salaf sesuatu yang dengannya kamu mengetahui bahwa orang-orang yang menasabkan diri kepada madzhab-madzhab mereka itu menganiaya mereka, clan bahwasanya mereka termasuk lawan tengkar mereka yang paling keras pada hari Kiamat. Sesungguhnya mereka (ulama salaf) tidak bertu­juan dengan ilmu kecuali Dzat Allah Ta'ala.

Telah disaksikan dari peri keadaan mereka tanda-tanda ulama akhirat sebagaimana akan datang penjelasannya pada bab "Tanda-tanda ulama' akhirat". Mereka tidak semata-mata untuk ilmu fiqh tetapi mereka sibuk dengan ilmu hari dan mereka mengawasinya. Tetapi mereka dari mengajar dan menyusun kitab seperti berpalingnya shahabat dari menyusun kitab dan mengajar mengenai fiqh pada hal mereka adalah fuqaha' yang mandiri dalam ilmu fatwa. Hal-hal yang memalingkan dan hal-hal yang mengajak itu diyakini, dan tidak butuh untuk disebutkan.

Kami sekarang akan menyebutkan sebagian dari perkataan‑perkataan fuqaha' Islam yang dengannya kamu ketahui bahwa apa yang kami sebutkan itu bukanlah celaan terhadap mereka tetapi itu adalah celaan terhadap orang yang mengikuti mereka dan menasab­kan diri kepada madzhab-madzhab mereka pada hal ia menyelisihi mereka dalam amal dan perilaku mereka.

Para fuqaha' yang menjadi pemimpin-pemimpin ilmu fiqh itu dan menjadi ikutan makhluk, saya maksudkan orang-orang yang banyak pengikutnya dalam madzhab mereka ada lima orang, yaitu
a.    Asy Syafi'i,
b.    Malik,
c.    Ahmad bin Hambal,
d.    Abu Hanifah,
e.    Sufyan Ats Tsauri, semoga Allah mengasihi mereka.

Masing-masing dari mereka itu seorang yang ahli ibadah, zuhud, pandai mengenai ilmu akhirat dan faqih (mengerti) mengenai kemasla­hatan-kemaslahatan makhluk di dunia, dan dengan fiqhnya ia menghendaki Dzat Allah Ta'ala.

 Ini lima pekerti yang mana para fuqaha' dewasa ini dari keseluruhannya itu mengikuti satu pekerti yaitu siap siaga dan bersangatan dalam cabang-cabang fiqh karena empat pekerti lainnya itu tidak cocok kecuali untuk akhirat. Sedangkan satu pekerti itu cocok untuk dunia dan akhirat. Jika dengannya itu dimak­sudkan untuk akhirat maka sedikit kebaikannya bagi dunia.

( Kegiatan / sifat-sifat imam Syafi’i sehari-hari)
Mereka (fuqaha' dewasa ini) siap siaga untuknya dan mengaku mirip dengan para imam-imam itu. Dan jauhlah untuk mengiaskan malaikat dengan para tukang besi. Maka sekarang hendaklah kita datangkan dari peri keadaan mereka akan sesuatu yang menunjuk­kan atas empat pekerti ini karena pengetahuan mereka tentang fiqh itu jelas.

Adapun Imam Asy Syafi'i rahimahullah Ta'ala maka apa yang diriwayatkan itu menunjukkan bahwasanya ia seorang ahli ibadah, yaitu ia membagi malam menjadi tiga bahagian, sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk ibadah dan sepertiga untuk tidur.

Ar Rabi' berkata : "Asy Syafi'i rahimahullah itu mengkhatam­kan Al Qur'an dalam bulan Ramadhan enam puluh kali. Seluruhnya itu dalam shalat. Sedangkan Al Buwaithi, salah seorang temannya itu mengkhatarik--n Al Qur'an dalam bulan Ramadhan dalam setiap hari".
Hasan Al Karabisi berkata : "Says bermalam bersama Asy Syafi'i tidak hanya semalam. la shalat sekitar sepertiga malam. Saya tidak melihatnya ia membaca lebih dari lima puluh ayat. Apabila ia mem­perbanyak maka seratus ayat. Tidaklah ia melewati ayat rahmat maka ia memohon kepada Allah Ta'ala bagi dirinya dan seluruh kaum muslimin dan mu'minin. Dan ia tidak melewati ayat siksa kecuali ia mohon perlindungan padanya dan memohon selamat bagi dirinya dan mu'minin. Seolah-olah ia menghimpun harapan dan ketakutan bersama-sama.

Lihatlah bagaimana pencukupannya atas lima puluh ayat itu menunjukkan atas pendalamannya tentang rahasia-rahasia Al Qur'an dan perenungannya terhadap ayat-ayat itu.

Asy Syafi'i rahimahullah berkata : "Saya tidak kenyang kenyang sejak umur enam belas tahun karena kenyang itu membe­ratkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mena­rik (menyebabkan) tidur dan melemahkan orang yang kenyang dari ibadah".

Lihatlah kepada kebijaksanaannya dalam menuturkan bahaya-­bahaya kenyang kemudian mengenai kesungguhannya dalam beriba­dah karena ia meninggalkan kenyang untuk ibadah karena pangkal beribadah adalah menyedikitkan makan.

Asy Syafi'i rahimahullah berkata : "Saya tidak pernah sumpah dengan nama Allah Ta'ala baik benar maupun dusta". Lihatlah penghormatannya dan pengagungannya kepada Allah 'Ta'ala. Dan itu menunjukkan atas ilmunya tentang Allah Yang Maha Suci.

Asy Syafi'i ra ditanya tentang suatu masalah lalu ia diam. Maka ditanyakan kepadanya : "Mengapakah tidak engkau jawab, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu". Lalu Asy Syafi'i berkata : "Sehingga saya mengetahui keutamaan itu dalam saya berdiam diri atau menjawab". Lihatlah bagaimanakah pengawasannya kepada lidahnya padahal lidah itu adalah anggauta badan yang paling kuasa bagi fuqaha', clan paling tidak ta'at untuk diatur dan dipaksa. Dengan peristiwa itu jelaslah bahwasanya ia tidak berkata dan tidak diam kecuali untuk memperoleh keutamaan clan mencari pahala.

Ahmad bin Yahya bin Al Wazir berkata : "Pada suatu hari Asy Syafi'i rahimahullah Ta'ala keluar dari pasar lampu lalu kami meng­ikutinya. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang membodohkan seorang ahli ilmu, maka Asy Syafi'i menoleh kami dan berkata : "Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengarkan kekejian/kerusakan sebagaimana kamu bersihkan lidahmu dari mengucapkannya. Sesungguhnya orang yang mendengarkan itu teman orang yang berbicara. Dan orang bodoh itu melihat kepada sesuatu yang paling kotor di bejananya lalu ia ingin mengosongkannya dalam bejanamu. Seandainya kata-kata orang bodoh itu ditolak niscaya beruntunglah orang yang menolaknya itu.

Asy Syafi'i ra berkata : "Seorang yang bijak menulis kepada orang bijak lain 'Saya diberi ilmu maka janganlah kamu kotori ilmumu dengan gelapnya dosa-dosa lalu kamu tinggal dalam kegelapan pada hari orang-orang ahli ilmu berjalan dengan cahaya ilmu mereka".

Adapun zuhudnya (Asy Syafi'i) ra, Asy Syafi'i rahimahullah ber­kata : "Barang siapa yang menyangka bahwa ia menghimpun antara cinta dunia dan cinta Penciptanya di dalam hatinya maka ia telah dusta".

Al Humaidi berkata : "Asy Syafi'i rahimahullah berangkat ke Yaman bersama sebagian penguasa. Lalu ia berangkat ke Mekkah dengan sepuluh ribu dirham lalu ia membuat kemah di suatu tempat di luar kota Mekkah. Orang-orang mendatanginya, dan ia selalu di tempatnya itu sehingga ia menghabiskannya semua". Suatu kali ia keluar dari kamar mandi lalu ia memberi penjaga kamar mandi itu harta yang banyak. Suatu kali cambuknya jatuh dari tangannya lalu ada seseorang mengangkatkannya kepadanya maka ia memberinya upah sebanyak lima puluh dinar.
Kedermawanan Asy Syafi'i rahimahullah itu adalah lebih terke­nal dari pada sesuatu yang dihikayatkan. Kepala zuhud adalah keder­mawanan karena orang yang menyintai sesuatu adalah menahannya dan tidak mau berpisah dengannya. Maka tidaklah mau memisahkan harta kecuali orang yang mana dunia itu kecil di matanya.

Dan itu arti zuhud.

Apa yang diriwayatkan ini menunjukkan atas kekuatan zuhud­nya dan sangat takutnya kepada Allah Ta'ala dan kesibukan hatinya dengan akhirat, yaitu bahwasanya Sufyan bin 'Uyainah meriwayat­kan sebuah hadits mengenai hal-hal (perilaku) yang lembut-lembut, lalu Asy Syafi'i pingsan. Lalu dikatakan kepadanya : "Ia (Asy Syafi'i) telah meninggal ". Lalu ia berkata : "Jika ia meninggal, maka ia orang yang paling utama pada masanya telah meninggal".

Dan apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Muhammad Al Balwi berkata : "Saya dan Umar bin Nabatah duduk membicarakan hamba-hamba Allah dan orang-orang yang zuhud. Lalu Umar ber­kata kepadaku : "Saya tidak melihat orang yang lebih wara' dan lebih fasih dari pada Muhammad bin Idris Asy Syafi'i ra.

Saya dan Harts bin Lubaid berangkat ke Shafa. Harts adalah murid Shalih Al Marri, ia mulai membaca (Al Qur'an) dan ia baik suaranya. la membaca ayat ini

Artinya "Ini adalah hari di mana mereka tidak dapat berbicara. Dan tidak diberikan izin bagi mereka, lalu mereka mengemu­kakan alasan ". (AI Mursalat : 35 – 36).

Lalu saya melihat Asy Syafi'i rahimahullah telah berubah warnanya, berdiri bulu romanya, ia goncang amat sangat dan jatuh pingsan.

Ketika ia sadar ia mulai mengucapkan : "Saya berlindung kepadaMu dari kedudukan orang-orang yang berdusta dan dari keterpalingan orang-orang yang lalai. Wahai Allah kepadaMu tunduklah hati orang­-orang yang ma'rifat (kepada Allah) dan menghinakan dirilah tengkuk orang-orang yang rindu. Wahai Tuhanku, berikanlah kepadaKu akan kemurahanMu, muliakanlah saya dengan tutupMu dan ampunilah kelalaianku dengan kemurahanMu".

Ia berkata : "Kemudian Asy Syafi'i berjalan dan kami pergi. Ketika saya masuk Baghdad dan ia berada di Irak. Ketika saya duduk di tepi sungai di mana saya berwudhu untuk shalat, tiba-tiba seorang laki­laki melewati saya lalu ia berkata kepadaku : "Wahai anak, baik­kanlah wudhumu maka Allah akan berbuat kepadamu di dunia dan akhirat". Maka saya menoleh, maka tiba-tiba saya dengan seorang laki-laki yang diikuti oleh sekelompok orang lalu saya segerakan wudhu' saya dan saya mengikuti bekasnya lalu ia menoleh kepadaku dan bertanya : "Apakah kamu mempunyai kebutuhan kepadaku ?". Saya jawab, : "Ya, engkau ajarkanlah kepadaku sesuatu yang telah diajarkan Allah kepada engkau". Lalu ia berkata kepadaku : "Ketahuilah bahwa orang yang membenarkan Allah maka ia akan selamat, barang siapa yang sayang kepada agamaNya maka ia akan selamat dari kehinaan, dan barang siapa yang zuhud di dunia maka sepasang matanya akan sejuk karena pahala Allah yang dilihatnya besok. Apakah saya tidak menambah lagi bagimu ?". Saya menja­wab, : "Ya". Ia berkata : "Barang siapa yang padanya terdapat tiga pekerti maka ia telah menyempurnakan iman, yaitu orang yang meme­rintahkan kepada orang lain dan dirinya mengikuti perintah kebaikanitu, ia melarang kemungkaran dan ia menghentikan kemungkaran diri­nya, clan ia memelihara batas-batas Allah Ta'ala. Maukah saya menambahmu lagi ?". Saya menjawab : "Ya". Lalu ia berkata : "Jadilah kamu orang yang zuhud terhadap dunia, senanglah kepada akhirat, dan benarkanlah Allah Ta'ala dalam seluruh urusanmu maka kamu akan selamat bersama orang-orang yang selamat". Kemudian ia meneruskan perjalanannya lalu saya bertanya : "Siapakah orang ini ?". Maka orang-orang berkata : "Asy Syafi'i". Lihatlah kepada jatuhnya karena pingsan kemudian lihatlah nasihatnya, bagaimana hal itu menunjukkan atas kezuhudannya dan puncak ketakutannya ? Keta­kutan ini dan kezuhudannya itu tidaklah terjadi kecuali karena ma'rifatnya kepada Allah 'Azza Wa Jalla, karena sesungguhnya :

Artinya : "Yang takut kepada Allah dari hamba-hambaNya ha­nyalah para ulama' " (Fathir : 28).

Asy Syafi'i rahimahullah tidak memperoleh ketakutan dan kezu­hudan ini dari ilmu kitab salam (beli dengan pesan), ijarah (sewa menyewa), dan seluruh kitab-kitab fiqh yang lain tetapi itu dari ilmu-­ilmu akhirat yang diambil dari Al Qur'an dan hadits-hadits karena hikmah-hikmah orang-orang yang terdahulu clan terkemudian itu ter­clapat pada keduanya.

Adapun keadaannya'alim tentang rahasia-rahasia hati dan ilmu akhirat maka karena ia mengetahui hikmah-hikmah yang terdapat padanya.
Diriwayatkan bahwasanya ia ditanya tentang riya'. Lalu ia ber­kafa : "Secara jelas, riya' adalah fitnah yang diselenggarakan oleh haws nafsu untuk merobah pandangan hati para ulama lalu mereka melihatnya dengan pilihan jiwa yang buruk, maka riya' itu mengha­puskan amal mereka".

Asy Syafi'i rahimahullah Ta'ala berkata : "Apabila kamu takut ujub atas amalmu maka lihatlah keridhaan Dzat Yang kamu cari, pahala apapun yang kamu senangi, siksa apapun yang kamu takuti, kesehatan apapun yang kamu syukuri dan cobaan apapun yang kamu ingat ! Sesungguhnya jika kamu mernikirkan satu dari pekerti ini maka menjadi kecillah amalmu dalam pandangan matamu". Lihatlah bagai­mana ia menyebutkan hakikat riya' dan pengobatan ujub, di mana keduanya adalah termasuk bahaya hati yang besar.

Asy Syafi'i ra berkata : "Barang siapa yang tidak menjaga diri­nya maka ilmunya tidak berguna baginya".
Dan Asy Syafi'i rahimahullah berkata : "Barang siapa ta'at kepada Allah Ta'ala dengan ilmu maka rahasianya berguna baginya".
Dan Asy Syafi'i berkata : "Tidak seorangpun melainkan ia ada orang yang menyukai dan ada orang yang membencinya. Apabila demikian adanya maka jadilah kamu bersama orang yang ahli ta'at kepada Allah 'Azza Wa Jalla.

Dan diriwayatkan bahwa Abdul Qahir bin Abdul 'Aziz adalah seorang yang saleh dan wara'. la bertanya kepada Asy Syafi'i ra tentang beberapa masalah tentang wara'. Lalu Asy Syafi'i rahimahullah mau menerimanya karena wara'nya.

Dan pada suatu hari ia berkata kepada. Asy Syafi'i : "Manakah lebih utama sabar, cobaan atau keman­tapan ?". Lalu Asy Syafi'i rahimahullah berkata : "Kemantapan itu derajat para Nabi, dan kemantapan itu tidak ada kecuali setelah cobaan. Apabila ia diuji maka ia bersabar dan apabila ia bersabar maka ia menjadi mantap. Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya Allah 'Azza Wa Jalla menguji Ibrahim as kemudian beliau memantapkan­nya.

Dia menguji Musa as kemudian Dia memantapkannya. Dia meng­uji Ayyub as kemudian Dia memantapkannya. Dia menguji Sulai­man as kemudian Dia memantapkannya dan Dia memberinya kerajaan.
Kemantapan itu adalah derajat yang paling utama. Allah 'Azza Wa Jalla berfirman :

Artinya : "Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf dimuka bumi(Mesir)" (Yusuf : 21).

Dan Ayyub as dimantapkan oleh Allah setelah ujian besar. Allah Ta'ala berfirman :

Artinya : "Dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipatgandakan bilangan mereka ". Al-Anbiya' : 84).

Perkataan dari Asy Syafi'i rahimahullah ini menunjukkan atas melautnya Asy Syafi'i mengenai rahasia-rahasia Al Qur'an dan pandangannya terhadap maqam (kedudukan) orang-orang yang berjalan kepada Allah Ta'ala dari para Nabi dan para wali. Seluruhnya itu dari ilmu akhirat.

Ditanyakan. kepada Asy Syafi'i rahimahullah : "Kapankah sese­orang itu menjadi 'alim (pandai) ?". la menjawab : "Apabila ia yakin dalam ilmunya lalu ia mengajarkannya. Dan ia menghadapi seluruh ilmu dan melihat terhadap apa yang terlewatkan. Maka ketika itu ia menjadi orang yang 'alim (pandai)".
Ditanyakan. kepada Jalinus : "Sesungguhnya kamu menyuruh untuk satu penyakit dengan obat-obat yang banyak ?". Lalu ia men­jawab : "Yang dimaksudkan dari padanya hanyalah satu namun yang lainnya untuk mengawetkan ketajamannya karena sendiri-sendirinya itu membunuh".

Ini dan yang semisalnya yang tidak terhitung adalah menunjuk­kan atas ketinggian derajatnya dalam ma'rifat kepada Allah Ta'ala dan ilmu-ilmu akhirat.

Adapun kemauannya terhadap fiqh dan berdiskusi padanya ada­lah Dzat Allah Ta'ala. Apa yang diriwayatkan ini menunjukkan. kepa­danya; "yaitu saya suka bahwa manusia dapat memanfa'atkan ilmu ini dan sesuatu yang dibangsakan kepadaku". Lihatlah bagaimana ia melihat bahaya ilmu dan mencari nama dan bagaimana ia member­sihkan hati dari menoleh kepadanya karena niat padanya itu semata­-mata karena mencari keridhaan Allah Ta'ala.

Asy Syafi'i ra berkata : "Saya tidak pernah diskusi dengan sese­wang lalu saya suka ia salah". Dan ia berkata : "Saya tidak pernah berbicara kepada seseorang melainkan saya suka ia mendapat taufiq, kebenaran, pertolongan dan pemeliharaan dari Allah Ta'ala. Dan saya tidak pernah berbicara dengan seseorang sedangkan saya mengindah­kan agar Allah menjelaskan kebenaran itu pada lidahku atau lidahnya".

Dan ia berkata Saya tidak menyampaikan kebenaran dan bukti kebenaran itu atas seseorang lalu ia menerimanya dari padaku melainkan saya takut kepadanya dan saya beri'tikad akan kecintaannya. Dan idaklah seseorang membesarkan diri kepadaku terhadap kebenaran dan ia menolak hujjah (bukti kebenaran) melainkan ia turun dari pan­danganku dan saya menolaknya".

Tanda-tanda inilah yang menunjukkan atas fiqh dan diskusi. ,ihatlah bagaimana, manusia mengikutinya dari sejumlah pekerti yang sama ini hanya satu pekerti saja. Kemudian bagaimana mereka padanya menyalahinya juga.

Oleh karena itu Abu Tsaur rahimahullah ber­kata : "Saya tidak melihat dan orang-orang juga tidak melihat orang yang seperti Asy Syafi'i rahimahullah Ta'ala.

Ahmad bin Hambal ra berkata : "Saya tidak shalat sejak umur 40 tahun melainkan saya mendo'akan Asy Syafi'i rahimahullah Ta'ala".

Lihatlah keinsafan orang yang mendo'akan dan derajat orang yang dido'akan. Kiaskanlah (ukurlah) teman-teman dan ulama yang semisal di masa ini, dan permusuhan dan kebencian yang ada di antara mereka agar kamu mengetahui kelalaian mereka dalam mengaku mengikuti imam-imam itu.

Karena banyaknya ia (Ahmad bin Hambal) mendo'akan Asy Syafi'i maka puteranya bertanya kepadanya : " Orang apakah Asy Syafi'i sehingga engkau mendo'akan untuknya segala do'a ini ?". Lalu Ahmad berkata : "Hai anakku, Asy Syafi'i rahimahul­lah Ta'ala itu seperti matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia". Lihatlah apakah ada pengganti bagi dua perumpamaan ini ?

Ahmad rahimahullah berkata : "Tidaklah seseorang menyentuh tempat tinta dengan tangannya kecuali Asy Syafi'i rahimahullah mem­punyai pemberian pada tengkuknya".

Yahya bin Sa'd Al Qaththan berkata : "Saya tidak shalat dengan suatu shalat sejak umur empat puluh tahun melainkan saya padanya mendo'akan Asy Syafi'i karena Allah 'Azza Wa Jalla mem­bukakan ilmu kepadanya dan memberinya pertolongan untuk benar padanya". Henfaklah kita batasi mengenai peri keadaannya pada seke­lumit ini karena peri keadaannya diluar jangkauan untuk dihitung. Sebagian besar riwayat hidup ini kami kutip dari buku yang disusun oleh Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi rahimahullah Ta'ala mengenai riwayat hidup Asy Syafi'i semoga Allah meridhainya clan meridhai semua muslimin.

Wahai sobat, Belajarlah…………dengan mengikuti budi pekerti ulama ini, semoga bermanfa’at bagi kita……………

Terjemah ihya ulumiddin jilid 1 bab 2 tentang penjelasan ilmu yang fardhu kifayah, dan kita lanjutkan budi pekerti Imam Malik ra