Showing posts with label Bab empat.Bag. 1. Show all posts
Showing posts with label Bab empat.Bag. 1. Show all posts

Friday, December 9, 2011

Bab empat.bag1

BAB EMPATSEBAB MANUSIA CENDERUNG KEPADAILMU KHILAFIyyAH (PERBEDAAN PENDAPAT),PERINCIAN BAHAYA DISKUSI, PERDEBATAN DAN
SyARAT-SyARAT DIPERBOLEHKANNYA.

Ketahuilah bahwa khilafah (pemegang pemerintahan) setelah Rasulullah SAW dipegang oleh Khulafa-ur Rasyidun yang mendapat petunjuk. Mereka adalah para imam yang 'alim (pandai) tentang Allah Ta'ala, memahami hukum-hukumNya.
Mereka mampu berdiri sen­diri dalam memberikan fatwa-fatwa mengenai hukum. Mereka tidak minta tolong kepada para fuqaha' kecuali jarang dalam peristiwa-­peristiwa yang membutuhkan musyawarah.

Maka para ulama dapat mengosongkan hati (dari keduniaan) untuk (memperoleh) ilmu akhi­rat. Mereka melepaskan diri (dari dunia) untuk akhirat. Mereka meno­lak fatwa-fatwa dan apa yang berhubungan dengan makhluk dari dunia.

Mereka menghadap kepada Allah dengan ijtihad mereka yang sebenarnya sebagaimana dinukil dari perjalanan hidup mereka.

Ketika khilafah sampai kepada kaum-kaum yang setelah mereka maka mereka menjabatnya tanpa hak dan tidak mampu untuk ber­diri sendiri dengan ilmu fatwa dan hukum-hukum maka mereka ter­paksa minta tolong kepada para fuqaha' dan minta ditemani mereka dalam segala keadaan mereka untuk memberikan fatwa-fatwa dan men­jalankan hukum-hukum mereka.

Masih ada dari kalangan tabi'in orang yang terus-menerus di atas cara pertama, dan tetap memegangi agama yang bersih, dan mem­biasakan pada tanda ulama salaf. Mereka apabila dicari, maka mereka lari dan berpaling.

Maka para khalifah terpaksa mendesak mereka dalam menuntut mereka untuk menjabat di pengadilan dan pemerin­tahan.
Penduduk masa-masa itu melihat kemuliaan 'ulama dan perha­tian para imam (pemuka) dan para wali (penguasa) kepada para ulama dalam pada itu para ulama berpaling dari mereka. Maka para pen­duduk itu memajukan diri untuk mencari ilmu sebagai penghubung untuk memperoleh kemuliaan dan mendapat pangkat dari para wali (penguasa). Lalu mereka menekuni ilmu fatwa dan mereka menam­pilkan diri kepada para penguasa. Mereka memperkenalkan diri kepada para penguasa dan menuntut kekuasaan dan pemberian dari mereka.

Di antara mereka ada orang yang terhalang, dan di antara mereka ada yang sukses. Sedangkan orang yang sukses itu tidak lepas dari kehinaan menuntut dan kehinaan meminta.

Maka para fuqaha'menjadi meminta setelah dahulunya di minta. Dan mereka menjadi hina dengan menghadap kepada para penguasa kccuali orang yang diberi taufiq oleh Allah Ta'ala pada setiap masa dari ulama agama Allah, setelah dahulunya mereka mulia dengan ber­paling dari para sultan.

Sebagian besar perhatian pada masa-masa itu ditujukan kepada ilmu-ilmu fatwa dan pengadilan karena sangat diperlukan dalam peme­rintahan wilayah dan pusat.

setelah mereka, muncullah dari kalangan pemuka dan pemegang pemerintahan (amir) orang yang mendengar perkataan-perkataan manusia mengenai kaidah-kaidah aqaid, dan jiwanya cenderung untuk mendengarkan hujjah-hujjah. Lalu kegemarannya disalurkan kepada diskusi dan perdebatan mengenai ilmu kalam. Lalu manusia mene­kuni ilmu kalam dan mereka banyak menyusun karangan-karangan. Dan mereka menyusun cara-cara berdebat padanya, dan mereka me­ngeluarkan seni sanggahan dalam artikel-artikel.

Mereka menduga bahwa tujuan mereka adalah membela agama Allah, memperjuangkan Sunnah dan menolak bid'ah, sebagaimana orang yang sebelum mereka menduga bahwa tujuan mereka dengan sibuk dalam berfatwa demi agama dan mengurusi hukum-hukum di kalangan muslimin karena belas kasihan kepada makhluk Allah dan memberi nasihat kepada mereka.

Kemudian setelah itu muncul dari para pemuka orang yang memandang tidak benar terjun dalam ilmu kalam dan ia membuka pintu diskusi karena ilmu itu telah melahirkan orang yang membuka pintu kefanatikan yang keji dan pertengkaran yang tersiar yang sam­pan kepada pertumpahan darah dan penghancuran negeri-negeri.

Jiwa­nya (orang ini) cenderung kepada diskusi mengenai filth dan menje­laskan mana yang lebih utama dari madzhab Asy Syafi'i dan Abu Hani­fah ra secara khusus. Lalu manusia meninggalkan ilmu kalam dan pangkal ilmu.

Dan mereka terjun pada masalah-masalah khilafiyyah (perbedaan pendapat) antara Asy Syafi'i dan Abu Hanifah secara khu­sus. Mereka meremehkan terhadap khilafiyyah dengan Malik, Sufyan, Ahmad ra. dan lain-lainnya.

Mereka menduga bahwa tujuan mereka adalah mengistimbatkan detail-detail Syara', menetapkan sebab-sebab madzhab, dan membentangkan pokok-pokok fatwa. Mereka banyak menyusun susunan-­susunan (karangan) dan istimbath-istimbath.

Mereka menyusun ber­bagai macam perdebatan dan karangan. Mereka terus-menerus atas­nya hingga sekarang, dan kami tidak tahu apa yang akan terjadi sete­lah masa-masa kami. Inilah pembangkit untuk terus-menerus pada khi­lafiyyah dan diskusi-diskusi, bukan lainnya.

Seandainya jiwa tokoh-tokoh dunia cenderung kepada para pemimpin (imam) atau suatu ilmu lain niscaya manusia akan cende­rung bersama mereka dan tidak diam dari mencari sebab/alasan bahwa apa yang mereka kerjakan itu adalah ilmu agama, dan tidak ada tun­tutan mereka selain mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam.

Terjemah ihya jilid 1 bab 4
Penjelasan tentang penipuan terhadap kemiripan diskusi-diskusi ini dengan musyawarah para shahabat dan ulama salaf.

Ketahuilah bahwa mereka kadang-kadang menipu manusia kepada hal itu bahwa tujuan kami dari diskusi-diskusi itu adalah mencari kebe­naran agar jelas bahwa kebenaran itu dicari, dan tolong menolong untuk menalar ilmu dan mengemukakan goresan-goresan hati itu ber­guna dan berpengaruh.

Dan demikianlah adat kebiasaan para sha­habat ra dalam permusyawaratan mereka seperti mereka bermusya­warah dalam masalah kakek, saudara laki-laki, had minum khamer, dan wajibnya membayar atas imam apabila ia salah, sebagaimana dinukil seorang wanita keguguran janinnya karena takut Umar ra.

 Dan sebagaimana dinukil dari masalah-masalah faraidh (ketentuan pem­bagian waris), dan lainnya. Dan sebagaimana apa yang dinukil dari Asy Syafi'i, Ahmad, Muhammad bin Al Hasan, Malik, Abu Yusuf dan ulama-ulama lain rahimahumullah Ta'ala.

Menampakkan kepadamu akan kecampur adukan ini apa yang saya sebutkan, yaitu bahwa tolong-menolong dalam menuntut/mencari kebenaran itu adalah termasuk agama.

Terjemah ihya jilid 1 bab 4

Tetapi hal itu mempunyai syarat-syarat dan delapan tanda, yaitu :

1. Janganlah sibuk pada sesuatu yang fardhu kifayah orang yang belum selesai dari fardhu-fardhu 'ain.

 Barangsiapa yang menanggung fardhu 'ain lalu ia sibuk dengan fardhu kifayah sedangkan ia menduga bahwasanya ia mencari kebenaran maka ia pendusta.

 Contohnya adalah orang yang meninggalkan shalat (sebagai fardhu 'ain) pada dirinya, sedangkan ia semata-mata menghasilkan kain dan memintalnya seraya berkata : "Tujuanku
adalah menutup aurat orang yang shalat dengan telanjang dan tidak mendapatkan kain".

Hal itu barangkali sesuai dan mungkin ter­jadinya sebagaimana seorang faqih menduga bahwa terjadinya hal-­hal yang jarang itu yang dibahas dalam khilaf itu adalah mungkin,
Sedangkan orang-orang yang sibuk dengan diskusi itu mela­laikan fardhu-fardhu 'ain yang disepakati (tidak ada perbedaan pendapat).

Barang siapa yang dihadapkan pada pengembalian titip­an saat itu lalu ia berdiri dan takbiratul ihram untuk shalat yang mana shalat itu merupakan sedekat-dekat pendekatan diri kepada Allah Ta'ala maka ia durhaka karenanya.

 Maka tidak cukup untuk menjadikan seseorang itu orang ta'at di mana keadaan perbuatan­nya itu termasuk jenis ta'at selama padanya tidak dipelihara waktu, syarat-syarat dan tertibnya.

2. Agar seseorang itu tidak melihat/berpendapat bahwa fardhu kifayah itu lebih penting dari pada diskusi. Jika ia memandang ada sesuatu yang lebih penting dan ia melakukan lainnya maka ia durhaka dengan perbuatannya itu.

Perumpamaannya adalah seperti perum­pamaan orang yang melihat sekumpulan orang yang kehausan dan hampir binasa sedangkan manusia lain melalaikannya (tidak mem­perdulikan) pada hal ia mampu untuk menghidupi mereka dengan memberikan minuman air lalu ia sibuk belajar membekam, di mana ia menduga (berkeyakinan) bahwa membekam itu termasuk fardhu kifayah yang seandainya negerinya kosong dari padanya maka manusia binasa.

Apabila di katakan kepadanya : "Di negeri itu terdapat sekumpulan tukang bekam, dan di kalangan mereka ada yang sudah tidak dibutuhkan lagi". Lalu orang ini berkata : "Pekerjaan ini tidak keluar dari keadaannya sebagai fardhu kifayah".

Maka keadaan orang yang melakukan ini dan melalai­kan pekerjaan sehubungan dengan peristiwa yang mendesak seke­lompok orang-orang yang kehausan dari muslimin adalah seperti keadaan orang yang sibuk dengan diskusi pada hal di negeri itu terdapat fardhu-fardhu kifayah yang dilalaikan, tidak ada yang mengurusnya.

Adapun fatwa maka telah dilaksanakan oleh sekumpulan orang. Dan suatu negeri tidak kosong dari sejumlah fardhu yang dilalaikan dan para fuqaha' tidak memperhatikannya. Dan yang paling dekat adalah kedokteran karena pada sebagian besar negara­-negara tidak terdapat dokter yang muslim yang boleh dipegangi kesaksiannya pada sesuatu yang disandarkan atas perkataan dokter menurut syara'.Tidak seorangpun fuqaha' yang senang untuk sibuk padanya.

Demikian juga amar ma'ruf (memerintahkan kebaikan) dan nahi mungkar (melarang keburukan) termasuk fardhu kifayah. Barangkali orang yang berdiskusi itu di majlis diskusinya menyak­sikan sutera dipakai dan dihamparkan, sedangkan ia diam saja dan berdiskusi mengenai masalah yang tidak pernah sesuai dengan peris­tiwa.

Dan jika terjadi maka dilakukan oleh sekumpulan fuqaha'. Kemudian ia menduga bahwa ia mau mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan fardhu kifayah.

 Anas ra meriwayatkan bah­wasanya :
Artinya "Ditanyakan wahai Rasulullah, kapankah amar ma'ruf dan nahi mungkar itu ditinggalkan ? ". Maka beliau AS bersabda : "Apabila muncul berminyak muka pada orang-orang pilihanmu, kekejian pada orang-orang burukmu, raja beralih pada orang-orang kecilmu, dan
fiqh pada orang-orang rendahmu".1)

3. Orang yang berdiskusi itu mujtahid yang berfatwa dengan pen­dapatnya, bukan dengan madzhab Asy Syafi'i, Abu Hanifah dan lain-lainnya sehingga apabila tampak kebenaran baginya dari madzhab Abu Hanifah maka ia tinggalkan apa yang sesuai dengan pendapat Asy Syafi'i.

 Dan ia berfatwa dengan apa yang tampak baginya sebagaimana sesuatu yang dilakukan oleh para shahabat ra. dan imam-imam.

Adapun orang yang bukan tingkatan mujtahid dan itulah hukum setiap penduduk masa kini di mana ia berfatwa mengenai sesuatu yang ditanyakan itu sebagai nukilan dari madzhab pemi­liknya. Maka seandainya tampak baginya kelemahan madzhab­nya maka tidak boleh baginya untuk meninggalkannya. Apakah faidah diskusi baginya sedangkan madzhabnya diketahui dan ia tidak berfatwa dengan selainnya ?

1) H. R. Ibnu Majah dengan sanad yang balk.

sesuatu yang sulit atasnya maka wajib baginya untuk mengatakan 'Mudah-mudahan pada pemilik madzhabku terdapat jawaban tentang ini. Sesungguhnya saya tidaklah berdiri sendiri (merdeka) dengan ijtihad mengenai pokok Syara'.

Dan seandainya pembahasannya mengenai masalah-masalah yang padanya terdapat dua segi atau dua pendapat bagi pemilik madzhab niscaya hal itu menjadi Samar baginya.

Barang kali ia ber­fatwa dengan salah satu dari keduanya maka ia dapat mengambil pengetahuan dari pembahasannya akan kecenderungan kepada salah satu dari dua sisi, dan ia tidak pernah melihat diskusi-diskusi itu berjalan padanya bahkan barangkali ia tinggalkan masalah yang padanya terdapat dua segi atau dua pendapat, dan ia mencari masa­lah yang dildalamnya terdapat perbedaan pendapat secara pasti.

4.    Tidak mendiskusikan kecuali dalam masalah yang terjadi atau bia­sanya hampir terjadi. Sesungguhnya para shahabat ra. tidak ber­musyawarah kecuali mengenai peristiwa-peristiwa yang baru ter­jadi atau sesuatu yang biasanya terjadi seperti faraidh.

Dan kami tidak melihat orang-orang yang berdiskusi itu mementingkan untuk mengeritik masalah-masalah yang umum terjadi karena fatwa pada­nya bahkan mereka mencari genderang yang didengar maka meluas­lah medan perdebatan padanya bagaimanapun urusan itu adanya.

Barangkali mereka meninggalkan sesuatu yang banyak terjadi, dan mereka mengatakan : "Ini masalah berita atau itu sampingan dan tidak perlu diramaikan".

Maka termasuk hal-hal yang menghe­rankan bahwa yang dicari itu kebenaran kemudian mereka meninggalkan masalah karena masalah itu bersifat berita sedangkan diketahui benarnya adalah pemberitaan saja, atau masalah itu bukan termasuk sesuatu yang perlu diramaikan maka kami tidak mem­perpanjang perkataan padanya. Dan yang dimaksud dalam kebe­naran adalah perkataan itu pendek dan mencapai tujuan dengan dekat, tidak diperpanjang.

5.    Diskusi di tempat yang sunyi adalah lebih disukai olehnya dan lebih penting dari pada di perayaan-perayaan dan di tengah-tengah para pembesar dan sultan-sultan. Karena tempat yang sunyi itu lebih mengumpulkan pemahaman, terus-menerus jernih hati dan pikiran, dan mengetahui kebenaran. sedangkan di dalam hadirnya orang banyak terdapat sesuatu yang mengajak riya' dan menjadikan loba setiap orang untuk menang, benar atau batal. Dan kamu menge­tahui bahwa kelobaan mereka terhadap perayaan-perayaan dan kumpulan-kumpulan itu tidaklah karena Allah.

Seseorang dari mereka di tempat sunyi dengan temannya dalam waktu yang lama namun ia tidak bercakap-cakap, dan barangkali diusulkan/disarankan kepadanya namun ia tidak menjawab. Apa­bila ia muncul di depan atau dalam perkumpulan maka ia tidak meninggalkan busur daya upaya dengan mengundurkan diri, sehingga ia menjadi orang khusus untuk berbicara.

6. Di dalam mencari kebenaran itu seperti orang yang mencari barang yang hilang, ia tidak membedakan apakah barang yang hilang itu tampak di tangannya atau tangan orang yang menolongnya. Dan ia memandang temannya sebagai penolong, bukan sebagai musuh.

Dan ia berterima kasih kepadanya apabila ia menunjukkan kesa­lahan kepadanya dan menampakkan kebenaran baginya. Sebagai­mana seandainya ia mengambil jalan dalam mencari barang hilangnya lalu temannya menunjukkan barang hilangnya itu berada di jalan lain maka ia akan berterima kasih kepadanya, tidak mem­bencinya, memuliakannya dan bergembira karenanya.

Demikian­lah musyawarah-musyawarah para shahabat ra. sampai seorang wanita menolak khuthbah Umar ra. dan wanita itu menunjukkan­nya terhadap kebenaran, pada hal Umar dalam berkhuthbah/ber­pidato itu di tempat orang-orang yang banyak.

Lalu Umar ber­kata : "Benarlah seorang wanita dan salahlah seorang laki-laki".
Seorang laki-laki bertanya kepada Ali ra. Lalu laki-laki itu ber­kata : "Tidak demikian wahai Amirul mu'minin tetapi demikian dan demikian ! ". Maka Umar berkata : "Kamu benar dan saya bersalah/keliru, dan di atas orang yang 'alim (pandai) ada orang yang pandai lagi".

Ibnu Mas'ud ra. menyalahkan Abu Musa Al Asy'ari ra. Abu Musa berkata : "Janganlah kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu sedangkan orang pandai ini di tengah-tengahmu ! ".

Demi­kian itu ketika Abu Musa ditanya tentang seorang laki-laki yang berperang di jalan Allah lalu ia terbunuh. Maka ia menjawab : "Di syurga". Abu Musa adalah amir (gubernur) Kufah.

Lalu Ibnu Mas'ud berkata : "Ulangilah pertanyaan itu bagi Amir, barangkali ia belum faham". Maka mereka pun mengulanginya, dan Amir mengulangi jawabannya. Lalu Ibnu Mas'ud berkata : "Saya ber­kata : "Jika ia terbunuh dan mendapat kebenaran maka ia di dalam syurga" Maka Abu Musa (Amir) berkata : "Yang benar adalah apa yang ia katakan".

Demikianlah keinsyatan pencari kebenaran. Seandainya hal yang seperti ini disebutkan sekarang kepada seorang faqih yang paling minipun niscaya ia mengingkarinya dan memandangnya jauh (untuk ditiru), dan ia mengatakan : "Tidak butuh untuk dikata­kan 'la mendapat kebenaran' karena hal itu sudah diketahui bagi setiap orang.

Maka lihatlah sekarang kepada orang-orang yang berdiskusi dewasa ini, bagaimana salah seorang dari mereka menjadi hitam (murung) wajahnya apabila kebenaran itu keluar dari lidah lawan bicaranya, bagaimana ia malu karenanya dan bagaimana ia ber­juang untuk mengingkarinya dengan sejauh/puncak kekuasaan­nya.

Bagaimana ia mencela orang yang mengalahkan hujjahnya sepanjang umurnya. Kemudian ia tidak malu untuk menyerupa­kan dirinya dengan para shahabat ra. dalam tolong menolongnya dalam mencari kebenaran.

7. Tidak mencegah penolongnya dalam diskusi untuk berpindah dari suatu dalil ke dalil yang lain, dari suatu kesulitan ke kesulitan lain. Maka demikianlah diskusi-diskusi ulama salaf.

Dan keluarlah dari perkataannya (orang yang berdiskusi seka­rang) seluruh detail-detail perdebatan yang di ada-ada mengenai sesuatu yang menguntungkan dirinya dan merugikan lawan dis­kusinya,

seperti perkataannya : "Ini tidak lazim bagiku untuk menyebutkannya", "ini berlawanan dengan perkataanmu yang per­tama maka tidak diterima".

Sesungguhnya kembali kepada kebenaran itu melawan keba­talan dan wajib diterima. Dan kamu melihat bahwa seluruh majlis itu habis untuk saling menolak dan mendebat sehingga orang yang mencari dalil itu menkiyaskan atas suatu asal dengan 'illat (sebab) yang diduga.

Lalu ditanyakan kepadanya : "Apakah dalilnya bahwa hukum dalam asal itu disebabkan sebab ini ? Lalu ia menjawab : "Ini apa yang tampak padaku. Jika tampak bagimu sesuatu yang lebih jelas dan lebih utama dari padanya maka sebutkanlah sehingga saya melihat padanya".

Maka terus meneruslah orang yang ber­paling itu dan ia padanya mengatakan beberapa pengertian selain apa yang saya sebutkan, sedangkan kamu telah mengetahuinya dan tidak saya sebutkan karena tidak lazim untuk saya sebutkan.

Orang yang mencari dalil berkata : "Wajib atasmu untuk menyebutkan apa yang kamu dakwakan di balik ini. Orang yang berpaling itu terus-menerus bahwa hal itu tidak lazim baginya, dan terhambatlah majlis diskusi itu.

Dengan soal yang sejenis ini dan semisalnya.
Orang miskin ini tidak mengetahui perkataannya "saya menge­tahuinya dan saya tidak menyebutkannya karena kedustaan ter­hadap Syara' itu tidak lazim bagiku".

Sesungguhnya jika ia tidak mengetahui maknanya dan ia hanya mendakwakannya untuk mele­mahkan musuhnya maka ia fasiq, pendusta dan durhaka kepada Allah Ta'ala dan menyiapkan diri untuk menerima kemurkaanNya dengan pengakuannya mengetahui pada hal ia kosong dari pada­nya.

Dan jika ia benar/jujur maka ia telah fasiq karena ia me­nyembunyikan urusan Syara' yang diketahuinya. Pada hal ia telah ditanya oleh saudaranya yang muslim agar ia memahaminya dan melihat padanya. Jika ia seorang yang kuat maka ia dapat kem­bali kepadanya. Sedang apabila ia orang yang lemah maka tam­pak baginya kelemahannya, dan ia dapat mengeluarkannya dari gelapnya kebodohan kepada cahaya ilmu.

Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa menjelaskan ilmu-ilmu agama yang ia ketahui, setelah adanya pertanyaan maka wajib dan lazim.

Ma'na perkataannya 'tidak lazim bagiku' yaitu di dalam jalan perdebatan yang kami bid'ahkan karena hukum memenuhi syah­wat dan senang di jalan mencari daya upaya dan persilatan dengan perkataan itu tidak lazim bagiku.

Jika tidak maka ia lazim menurut Syara' karena ia dengan mencegahnya untuk menyebut­kan itu adakalanya fasiq fan adakalanya pendusta.

Periksalah tentang musyawarah shahabat dan tukar penda­pat ulama salaf ra. Apakah kamu mendengar padanya sesuatu yang menyerupai jenis (perdebatan) ini, dan apakah ada seseorang yang mencegah dari pindah dari satu dalil ke dalil lain, dari kiyas kepada atsar (perkataan dan tindakan shahabat), dari hadits kepada ayat.

Bahkan seluruh pertukaran fikiran mereka termasuk jenis ini karena mereka menyebutkan setiap apa yang terlintas bagi mereka seba­gaimana ia terlintas, dan mereka itu bertukar fikiran padanya.
8. Hendaknya ia berdiskusi dengan orang yang diperkirakan dapat mengambil faidah dari padanya, dari orang yang berkecimpung di dalam ilmu. Biasanya mereka menjaga diri dari diskusi dengan para tokoh dan orang-orang besar karena takut munculnya kebenaran pada lidah mereka. mereka senang terhadap orang yang di bawah mereka karena kelobaan untuk memasarkan barang yang batal atas mereka.

Di balik ini terdapat syarat-syarat yang detail dan banyak. Tetapi di dalam syarat-syarat yang delapan ini terdapat sesuatu yang menunjukkan kamu mengenai orang yang berdiskusi karena Allah dan orang yang berdiskusi karena sesuatu sebab.

Ketahuilah secara garis besar bahwa orang yang tidak berdis­kusi dengan Syaithan di mana syaithan itu menguasai hatinya di mana syaithan adalah musuh yang paling memusuhinya dan senan­tiasa mengajaknya kepada kebinasaannya.

Kemudian ia sibuk dengan diskusi dengan orang lain mengenai masalah-masalah yang mana seorang mujtahid memperoleh pahala atau mempunyai andil bagi orang yang memperoleh pahala. la adalah orang yang men­tertawakan syaithan dan suri ibarat bagi orang yang'ikhlas. Oleh karena itu syaithan senang menggodanya karena ia akan menengge­lamkannya dalam gelapnya bahaya-bahaya yang kami hitung dan kami sebutkan rinciannya.

Kami mohon kepada Allah akan baik­nya pertolongan dan bantuan.

Terjemah ihya jilid 1 bab 4
Penjelasan mengenai bahaya-bahaya diskusi dan budi pekerti yang membinasakan yang terbit dari padanya.

Ketahuilah dan yakinkanlah bahwa diskusi yang diselenggara­kan untuk tujuan mendapat kemenangan, mematahkan hujjah lawan, menampakkan keutamaan, kemuliaan dan melebarkan mulut besar­nya di kalangan orang bertujuan mencari kemegahan, dan perdebatan, dan mencari simpati orang-orang itu sumber seluruh akhlak yang ter­cela di sisi Allah dan terpuji di sisi musuh Allah, yaitu Iblis.

Penisbatannya kepada kekejian-kekejian batin dari sombong, ujub (kagum terhadap diri sendiri), dengki, perlombaan, mensucikan jiwa­nya, dan cinta pangkat dan lainnya seperti penisbatan minum kha­mer sampai kepada kekejian-kekejian lahir semisal zina, menukas (menuduh zina), membunuh dan mencuri.

Sebagaimana orang yang disuruh memilih antara minum dan seluruh kekejian-kekejian maka dipandang kecillah minum itu lalu ia maju (minum) padanya. Maka hal itu mengajaknya untuk melakukan seluruh kekejian dalam mabuk­nya itu.

Maka demikianlah orang yang dikalahkan oleh hujjah lawan dan menang dalam diskusi, mencari pangkat dan kemegahan mengajak­nya untuk menyembunyikan kekejian-kekejian dan seluruh akhlak yang tercela itu bergerak padanya. Akhlak-akhlak ini akan fatang dalil‑dalil ketercelaannya dari hadits-hadits dan ayat-ayat di dalam rub'ul (bagian) muhlikat (membinasakan).

Tetapi kami menunjukkan sekarang kepada himpunan apa yang digerakkan oleh diskusi, antara lain

a.Dengki. Pada hal Rasulullah SAW telah bersabda
Artinya "Dengki itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar".2)

Sedangkan orang yang berdiskusi itu tidak terlepas dari dengki karena sekali waktu ia menang dan sekali waktu ia kalah. Sekali waktu perkataannya dipuji dan sekali waktu perkataan orang lain dipuji.

Selama di dunia masih ada seseorang yang disebutkan dengan kekuatan ilmu atau ia menduga bahwasanya ia lebih baik daripadanya dalam pembicaraan dan lebih kuat pemikirannya maka pastilah ia dengki kepadanya, senang hilangnya kenikmatan dari padanya, dan berpalingnya hati dan muka manusia dari orang ter­sebut kepadanya (orang yang dengki).

Dengki adalah api yang membakar maka orang yang menda­pat cobaan dengannya maka ia di dalam siksaan di dunia, sedangkan siksa akhirat itu adalah lebih dahsyat dan lebih besar.

Oleh karena itu Ibnu Abbas ra berkata : "Ambillah ilmu di manapun kamu berada, dan janganlah kamu terima perkataan sebagian faqih kepada sebagian yang lain karena mereka saling berselisih seba­gaimana kambing jantan itu berselisih di dalam kandang.

b.     Sebagiannya adalah sombong dan meninggi atas manusia.

 Beliau bersabda :
Artinya : "Barang siapa yang sombong maka Allah merendah­kannya, dan barang siapa yang merendahkan diri karena Allah maka Allah meninggikannya".3)
2)    H.R. Abu Dawud dari hadits Abu Hurairah.
3)    H.R. Al Khathib dari hadits Umar dengan sanad yang shahih, dan ia mengatakan gharib dari Ats Tsauri. Dan oleh Ibnu Majah dari hadits Abu Sa'id dengan sanad yang baik.
138