Showing posts with label Bab Kedua : budi pekerti Imam Syafi'i. Show all posts
Showing posts with label Bab Kedua : budi pekerti Imam Syafi'i. Show all posts

Sunday, November 27, 2011

Bab Kedua : budi pekerti Imam Syafi'i

Bab Kedua : budi pekerti Imam Syafi'i
Terjemah ihya ulumiddin jilid 1 bab 2 tentang penjelasan ilmu yang fardhu kifayah,
Para fuqaha' yang menjadi pemimpin-pemimpin ilmu fiqh itu dan menjadi ikutan makhluk, saya maksudkan orang-orang yang banyak pengikutnya dalam madzhab mereka ada lima orang, yaitu
a.    Asy Syafi'i,
b.    Malik,
c.    Ahmad bin Hambal,
d.    Abu Hanifah,
e.    Sufyan Ats Tsauri, semoga Allah mengasihi mereka.

Masing-masing dari mereka itu seorang yang ahli ibadah, zuhud, pandai mengenai ilmu akhirat dan faqih (mengerti) mengenai kemasla­hatan-kemaslahatan makhluk di dunia, dan dengan fiqhnya ia menghendaki Dzat Allah Ta'ala.

 Ini lima pekerti yang mana para fuqaha' dewasa ini dari keseluruhannya itu mengikuti satu pekerti yaitu siap siaga dan bersangatan dalam cabang-cabang fiqh karena empat pekerti lainnya itu tidak cocok kecuali untuk akhirat. Sedangkan satu pekerti itu cocok untuk dunia dan akhirat. Jika dengannya itu dimak­sudkan untuk akhirat maka sedikit kebaikannya bagi dunia.

( Kegiatan / sifat-sifat imam Syafi’i sehari-hari)
Mereka (fuqaha' dewasa ini) siap siaga untuknya dan mengaku mirip dengan para imam-imam itu. Dan jauhlah untuk mengiaskan malaikat dengan para tukang besi. Maka sekarang hendaklah kita datangkan dari peri keadaan mereka akan sesuatu yang menunjuk­kan atas empat pekerti ini karena pengetahuan mereka tentang fiqh itu jelas.

Adapun Imam Asy Syafi'i rahimahullah Ta'ala maka apa yang diriwayatkan itu menunjukkan bahwasanya ia seorang ahli ibadah, yaitu ia membagi malam menjadi tiga bahagian, sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk ibadah dan sepertiga untuk tidur.

Ar Rabi' berkata : "Asy Syafi'i rahimahullah itu mengkhatam­kan Al Qur'an dalam bulan Ramadhan enam puluh kali. Seluruhnya itu dalam shalat. Sedangkan Al Buwaithi, salah seorang temannya itu mengkhatarik--n Al Qur'an dalam bulan Ramadhan dalam setiap hari".
Hasan Al Karabisi berkata : "Says bermalam bersama Asy Syafi'i tidak hanya semalam. la shalat sekitar sepertiga malam. Saya tidak melihatnya ia membaca lebih dari lima puluh ayat. Apabila ia mem­perbanyak maka seratus ayat. Tidaklah ia melewati ayat rahmat maka ia memohon kepada Allah Ta'ala bagi dirinya dan seluruh kaum muslimin dan mu'minin. Dan ia tidak melewati ayat siksa kecuali ia mohon perlindungan padanya dan memohon selamat bagi dirinya dan mu'minin. Seolah-olah ia menghimpun harapan dan ketakutan bersama-sama.

Lihatlah bagaimana pencukupannya atas lima puluh ayat itu menunjukkan atas pendalamannya tentang rahasia-rahasia Al Qur'an dan perenungannya terhadap ayat-ayat itu.

Asy Syafi'i rahimahullah berkata : "Saya tidak kenyang kenyang sejak umur enam belas tahun karena kenyang itu membe­ratkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mena­rik (menyebabkan) tidur dan melemahkan orang yang kenyang dari ibadah".

Lihatlah kepada kebijaksanaannya dalam menuturkan bahaya-­bahaya kenyang kemudian mengenai kesungguhannya dalam beriba­dah karena ia meninggalkan kenyang untuk ibadah karena pangkal beribadah adalah menyedikitkan makan.

Asy Syafi'i rahimahullah berkata : "Saya tidak pernah sumpah dengan nama Allah Ta'ala baik benar maupun dusta". Lihatlah penghormatannya dan pengagungannya kepada Allah 'Ta'ala. Dan itu menunjukkan atas ilmunya tentang Allah Yang Maha Suci.

Asy Syafi'i ra ditanya tentang suatu masalah lalu ia diam. Maka ditanyakan kepadanya : "Mengapakah tidak engkau jawab, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu". Lalu Asy Syafi'i berkata : "Sehingga saya mengetahui keutamaan itu dalam saya berdiam diri atau menjawab". Lihatlah bagaimanakah pengawasannya kepada lidahnya padahal lidah itu adalah anggauta badan yang paling kuasa bagi fuqaha', clan paling tidak ta'at untuk diatur dan dipaksa. Dengan peristiwa itu jelaslah bahwasanya ia tidak berkata dan tidak diam kecuali untuk memperoleh keutamaan clan mencari pahala.

Ahmad bin Yahya bin Al Wazir berkata : "Pada suatu hari Asy Syafi'i rahimahullah Ta'ala keluar dari pasar lampu lalu kami meng­ikutinya. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang membodohkan seorang ahli ilmu, maka Asy Syafi'i menoleh kami dan berkata : "Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengarkan kekejian/kerusakan sebagaimana kamu bersihkan lidahmu dari mengucapkannya. Sesungguhnya orang yang mendengarkan itu teman orang yang berbicara. Dan orang bodoh itu melihat kepada sesuatu yang paling kotor di bejananya lalu ia ingin mengosongkannya dalam bejanamu. Seandainya kata-kata orang bodoh itu ditolak niscaya beruntunglah orang yang menolaknya itu.

Asy Syafi'i ra berkata : "Seorang yang bijak menulis kepada orang bijak lain 'Saya diberi ilmu maka janganlah kamu kotori ilmumu dengan gelapnya dosa-dosa lalu kamu tinggal dalam kegelapan pada hari orang-orang ahli ilmu berjalan dengan cahaya ilmu mereka".

Adapun zuhudnya (Asy Syafi'i) ra, Asy Syafi'i rahimahullah ber­kata : "Barang siapa yang menyangka bahwa ia menghimpun antara cinta dunia dan cinta Penciptanya di dalam hatinya maka ia telah dusta".

Al Humaidi berkata : "Asy Syafi'i rahimahullah berangkat ke Yaman bersama sebagian penguasa. Lalu ia berangkat ke Mekkah dengan sepuluh ribu dirham lalu ia membuat kemah di suatu tempat di luar kota Mekkah. Orang-orang mendatanginya, dan ia selalu di tempatnya itu sehingga ia menghabiskannya semua". Suatu kali ia keluar dari kamar mandi lalu ia memberi penjaga kamar mandi itu harta yang banyak. Suatu kali cambuknya jatuh dari tangannya lalu ada seseorang mengangkatkannya kepadanya maka ia memberinya upah sebanyak lima puluh dinar.
Kedermawanan Asy Syafi'i rahimahullah itu adalah lebih terke­nal dari pada sesuatu yang dihikayatkan. Kepala zuhud adalah keder­mawanan karena orang yang menyintai sesuatu adalah menahannya dan tidak mau berpisah dengannya. Maka tidaklah mau memisahkan harta kecuali orang yang mana dunia itu kecil di matanya.

Dan itu arti zuhud.

Apa yang diriwayatkan ini menunjukkan atas kekuatan zuhud­nya dan sangat takutnya kepada Allah Ta'ala dan kesibukan hatinya dengan akhirat, yaitu bahwasanya Sufyan bin 'Uyainah meriwayat­kan sebuah hadits mengenai hal-hal (perilaku) yang lembut-lembut, lalu Asy Syafi'i pingsan. Lalu dikatakan kepadanya : "Ia (Asy Syafi'i) telah meninggal ". Lalu ia berkata : "Jika ia meninggal, maka ia orang yang paling utama pada masanya telah meninggal".

Dan apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Muhammad Al Balwi berkata : "Saya dan Umar bin Nabatah duduk membicarakan hamba-hamba Allah dan orang-orang yang zuhud. Lalu Umar ber­kata kepadaku : "Saya tidak melihat orang yang lebih wara' dan lebih fasih dari pada Muhammad bin Idris Asy Syafi'i ra.

Saya dan Harts bin Lubaid berangkat ke Shafa. Harts adalah murid Shalih Al Marri, ia mulai membaca (Al Qur'an) dan ia baik suaranya. la membaca ayat ini

Artinya "Ini adalah hari di mana mereka tidak dapat berbicara. Dan tidak diberikan izin bagi mereka, lalu mereka mengemu­kakan alasan ". (AI Mursalat : 35 – 36).

Lalu saya melihat Asy Syafi'i rahimahullah telah berubah warnanya, berdiri bulu romanya, ia goncang amat sangat dan jatuh pingsan.

Ketika ia sadar ia mulai mengucapkan : "Saya berlindung kepadaMu dari kedudukan orang-orang yang berdusta dan dari keterpalingan orang-orang yang lalai. Wahai Allah kepadaMu tunduklah hati orang­-orang yang ma'rifat (kepada Allah) dan menghinakan dirilah tengkuk orang-orang yang rindu. Wahai Tuhanku, berikanlah kepadaKu akan kemurahanMu, muliakanlah saya dengan tutupMu dan ampunilah kelalaianku dengan kemurahanMu".

Ia berkata : "Kemudian Asy Syafi'i berjalan dan kami pergi. Ketika saya masuk Baghdad dan ia berada di Irak. Ketika saya duduk di tepi sungai di mana saya berwudhu untuk shalat, tiba-tiba seorang laki­laki melewati saya lalu ia berkata kepadaku : "Wahai anak, baik­kanlah wudhumu maka Allah akan berbuat kepadamu di dunia dan akhirat". Maka saya menoleh, maka tiba-tiba saya dengan seorang laki-laki yang diikuti oleh sekelompok orang lalu saya segerakan wudhu' saya dan saya mengikuti bekasnya lalu ia menoleh kepadaku dan bertanya : "Apakah kamu mempunyai kebutuhan kepadaku ?". Saya jawab, : "Ya, engkau ajarkanlah kepadaku sesuatu yang telah diajarkan Allah kepada engkau". Lalu ia berkata kepadaku : "Ketahuilah bahwa orang yang membenarkan Allah maka ia akan selamat, barang siapa yang sayang kepada agamaNya maka ia akan selamat dari kehinaan, dan barang siapa yang zuhud di dunia maka sepasang matanya akan sejuk karena pahala Allah yang dilihatnya besok. Apakah saya tidak menambah lagi bagimu ?". Saya menja­wab, : "Ya". Ia berkata : "Barang siapa yang padanya terdapat tiga pekerti maka ia telah menyempurnakan iman, yaitu orang yang meme­rintahkan kepada orang lain dan dirinya mengikuti perintah kebaikanitu, ia melarang kemungkaran dan ia menghentikan kemungkaran diri­nya, clan ia memelihara batas-batas Allah Ta'ala. Maukah saya menambahmu lagi ?". Saya menjawab : "Ya". Lalu ia berkata : "Jadilah kamu orang yang zuhud terhadap dunia, senanglah kepada akhirat, dan benarkanlah Allah Ta'ala dalam seluruh urusanmu maka kamu akan selamat bersama orang-orang yang selamat". Kemudian ia meneruskan perjalanannya lalu saya bertanya : "Siapakah orang ini ?". Maka orang-orang berkata : "Asy Syafi'i". Lihatlah kepada jatuhnya karena pingsan kemudian lihatlah nasihatnya, bagaimana hal itu menunjukkan atas kezuhudannya dan puncak ketakutannya ? Keta­kutan ini dan kezuhudannya itu tidaklah terjadi kecuali karena ma'rifatnya kepada Allah 'Azza Wa Jalla, karena sesungguhnya :

Artinya : "Yang takut kepada Allah dari hamba-hambaNya ha­nyalah para ulama' " (Fathir : 28).

Asy Syafi'i rahimahullah tidak memperoleh ketakutan dan kezu­hudan ini dari ilmu kitab salam (beli dengan pesan), ijarah (sewa menyewa), dan seluruh kitab-kitab fiqh yang lain tetapi itu dari ilmu-­ilmu akhirat yang diambil dari Al Qur'an dan hadits-hadits karena hikmah-hikmah orang-orang yang terdahulu clan terkemudian itu ter­clapat pada keduanya.

Adapun keadaannya'alim tentang rahasia-rahasia hati dan ilmu akhirat maka karena ia mengetahui hikmah-hikmah yang terdapat padanya.
Diriwayatkan bahwasanya ia ditanya tentang riya'. Lalu ia ber­kafa : "Secara jelas, riya' adalah fitnah yang diselenggarakan oleh haws nafsu untuk merobah pandangan hati para ulama lalu mereka melihatnya dengan pilihan jiwa yang buruk, maka riya' itu mengha­puskan amal mereka".

Asy Syafi'i rahimahullah Ta'ala berkata : "Apabila kamu takut ujub atas amalmu maka lihatlah keridhaan Dzat Yang kamu cari, pahala apapun yang kamu senangi, siksa apapun yang kamu takuti, kesehatan apapun yang kamu syukuri dan cobaan apapun yang kamu ingat ! Sesungguhnya jika kamu mernikirkan satu dari pekerti ini maka menjadi kecillah amalmu dalam pandangan matamu". Lihatlah bagai­mana ia menyebutkan hakikat riya' dan pengobatan ujub, di mana keduanya adalah termasuk bahaya hati yang besar.

Asy Syafi'i ra berkata : "Barang siapa yang tidak menjaga diri­nya maka ilmunya tidak berguna baginya".
Dan Asy Syafi'i rahimahullah berkata : "Barang siapa ta'at kepada Allah Ta'ala dengan ilmu maka rahasianya berguna baginya".
Dan Asy Syafi'i berkata : "Tidak seorangpun melainkan ia ada orang yang menyukai dan ada orang yang membencinya. Apabila demikian adanya maka jadilah kamu bersama orang yang ahli ta'at kepada Allah 'Azza Wa Jalla.

Dan diriwayatkan bahwa Abdul Qahir bin Abdul 'Aziz adalah seorang yang saleh dan wara'. la bertanya kepada Asy Syafi'i ra tentang beberapa masalah tentang wara'. Lalu Asy Syafi'i rahimahullah mau menerimanya karena wara'nya.

Dan pada suatu hari ia berkata kepada. Asy Syafi'i : "Manakah lebih utama sabar, cobaan atau keman­tapan ?". Lalu Asy Syafi'i rahimahullah berkata : "Kemantapan itu derajat para Nabi, dan kemantapan itu tidak ada kecuali setelah cobaan. Apabila ia diuji maka ia bersabar dan apabila ia bersabar maka ia menjadi mantap. Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya Allah 'Azza Wa Jalla menguji Ibrahim as kemudian beliau memantapkan­nya.

Dia menguji Musa as kemudian Dia memantapkannya. Dia meng­uji Ayyub as kemudian Dia memantapkannya. Dia menguji Sulai­man as kemudian Dia memantapkannya dan Dia memberinya kerajaan.
Kemantapan itu adalah derajat yang paling utama. Allah 'Azza Wa Jalla berfirman :

Artinya : "Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf dimuka bumi(Mesir)" (Yusuf : 21).

Dan Ayyub as dimantapkan oleh Allah setelah ujian besar. Allah Ta'ala berfirman :

Artinya : "Dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipatgandakan bilangan mereka ". Al-Anbiya' : 84).

Perkataan dari Asy Syafi'i rahimahullah ini menunjukkan atas melautnya Asy Syafi'i mengenai rahasia-rahasia Al Qur'an dan pandangannya terhadap maqam (kedudukan) orang-orang yang berjalan kepada Allah Ta'ala dari para Nabi dan para wali. Seluruhnya itu dari ilmu akhirat.

Ditanyakan. kepada Asy Syafi'i rahimahullah : "Kapankah sese­orang itu menjadi 'alim (pandai) ?". la menjawab : "Apabila ia yakin dalam ilmunya lalu ia mengajarkannya. Dan ia menghadapi seluruh ilmu dan melihat terhadap apa yang terlewatkan. Maka ketika itu ia menjadi orang yang 'alim (pandai)".
Ditanyakan. kepada Jalinus : "Sesungguhnya kamu menyuruh untuk satu penyakit dengan obat-obat yang banyak ?". Lalu ia men­jawab : "Yang dimaksudkan dari padanya hanyalah satu namun yang lainnya untuk mengawetkan ketajamannya karena sendiri-sendirinya itu membunuh".

Ini dan yang semisalnya yang tidak terhitung adalah menunjuk­kan atas ketinggian derajatnya dalam ma'rifat kepada Allah Ta'ala dan ilmu-ilmu akhirat.

Adapun kemauannya terhadap fiqh dan berdiskusi padanya ada­lah Dzat Allah Ta'ala. Apa yang diriwayatkan ini menunjukkan. kepa­danya; "yaitu saya suka bahwa manusia dapat memanfa'atkan ilmu ini dan sesuatu yang dibangsakan kepadaku". Lihatlah bagaimana ia melihat bahaya ilmu dan mencari nama dan bagaimana ia member­sihkan hati dari menoleh kepadanya karena niat padanya itu semata­-mata karena mencari keridhaan Allah Ta'ala.

Asy Syafi'i ra berkata : "Saya tidak pernah diskusi dengan sese­wang lalu saya suka ia salah". Dan ia berkata : "Saya tidak pernah berbicara kepada seseorang melainkan saya suka ia mendapat taufiq, kebenaran, pertolongan dan pemeliharaan dari Allah Ta'ala. Dan saya tidak pernah berbicara dengan seseorang sedangkan saya mengindah­kan agar Allah menjelaskan kebenaran itu pada lidahku atau lidahnya".

Dan ia berkata Saya tidak menyampaikan kebenaran dan bukti kebenaran itu atas seseorang lalu ia menerimanya dari padaku melainkan saya takut kepadanya dan saya beri'tikad akan kecintaannya. Dan idaklah seseorang membesarkan diri kepadaku terhadap kebenaran dan ia menolak hujjah (bukti kebenaran) melainkan ia turun dari pan­danganku dan saya menolaknya".

Tanda-tanda inilah yang menunjukkan atas fiqh dan diskusi. ,ihatlah bagaimana, manusia mengikutinya dari sejumlah pekerti yang sama ini hanya satu pekerti saja. Kemudian bagaimana mereka padanya menyalahinya juga.

Oleh karena itu Abu Tsaur rahimahullah ber­kata : "Saya tidak melihat dan orang-orang juga tidak melihat orang yang seperti Asy Syafi'i rahimahullah Ta'ala.

Ahmad bin Hambal ra berkata : "Saya tidak shalat sejak umur 40 tahun melainkan saya mendo'akan Asy Syafi'i rahimahullah Ta'ala".

Lihatlah keinsafan orang yang mendo'akan dan derajat orang yang dido'akan. Kiaskanlah (ukurlah) teman-teman dan ulama yang semisal di masa ini, dan permusuhan dan kebencian yang ada di antara mereka agar kamu mengetahui kelalaian mereka dalam mengaku mengikuti imam-imam itu.

Karena banyaknya ia (Ahmad bin Hambal) mendo'akan Asy Syafi'i maka puteranya bertanya kepadanya : " Orang apakah Asy Syafi'i sehingga engkau mendo'akan untuknya segala do'a ini ?". Lalu Ahmad berkata : "Hai anakku, Asy Syafi'i rahimahul­lah Ta'ala itu seperti matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia". Lihatlah apakah ada pengganti bagi dua perumpamaan ini ?

Ahmad rahimahullah berkata : "Tidaklah seseorang menyentuh tempat tinta dengan tangannya kecuali Asy Syafi'i rahimahullah mem­punyai pemberian pada tengkuknya".

Yahya bin Sa'd Al Qaththan berkata : "Saya tidak shalat dengan suatu shalat sejak umur empat puluh tahun melainkan saya padanya mendo'akan Asy Syafi'i karena Allah 'Azza Wa Jalla mem­bukakan ilmu kepadanya dan memberinya pertolongan untuk benar padanya". Henfaklah kita batasi mengenai peri keadaannya pada seke­lumit ini karena peri keadaannya diluar jangkauan untuk dihitung. Sebagian besar riwayat hidup ini kami kutip dari buku yang disusun oleh Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi rahimahullah Ta'ala mengenai riwayat
hidup Asy Syafi'i semoga Allah meridhainya clan meridhai semua muslimin.

Wahai sobat, Belajarlah…………dengan mengikuti budi pekerti ulama ini, semoga bermanfa’at bagi kita……………

Terjemah ihya ulumiddin jilid 1 bab 2 tentang penjelasan ilmu yang fardhu kifayah, dan kita lanjutkan budi pekerti Imam Malik ra