Friday, December 2, 2011

ihya bab 3. e. Kata yang kelima adalah hikmah (kebijaksanaan).

e. lafal yang kelima adalah hikmah (kebijaksanaan).


Lafal pertama figh
Lafal kedua ilmu
Lafal ketiga tauhid
Lafal keempat dzikir
Lafal ke lima hikmah

Sesungguhnya nama hakim (orang yang bijaksana) itu dipergu­nakan untuk menyebut dokter/tabib, penyair, dan ahli perbintangan (astronoom) sehingga kepada orang yang memutar undian atas tela­pak tangan di tepi-tepi jalan.
Hikmah adalah sesuatu yang dipuji oleh Allah Ta'ala

26) Muttafaq 'alaih dari hadits Abu Hurairah, Ali dan Anas.

Artinya : "Dia (Allah) memberikan hikmah kepada siapa yang dike­hendakiNya. Dan barang siapa yang diberi hikmah sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak ". (A/ Baqarah : 269).

Dan Nabi SAW bersabda :
Artinya : "Satu kata dari hikmah yang dipelajari oleh seseorang ada­lah lebih balk dari pada dunia dan apa yang terdapat di dalamnya,,.27)

Maka lihatlah apa yang diungkapkan tentang hikmah, dan ke mana­kah sesuatu itu dinukil ! Dan kiyaskanlah dengannya seluruh lafal­lafal lainnya, dan peliharalah dari tertipu dengan pencampur- adukan ulama' yang buruk.

Karena sesungguhnya keburukan mereka atas agama itu lebih besar dari pada keburukan karena dengan peranta­raan mereka syaithan itu bertahap untuk mencabut agama dari hati manusia.

Oleh karena itu ketika Rasulullah SAW ditanya tentang seburuk-buruk makhluk, beliau enggan dan beliau bersabda
Artinya "Wahai Allah, ampunilah !" sehingga mereka mengulangi­nya maka beliau bersabda : "Mereka adalah ulama yang buruk,,.28).

Kamu telah mengetahui ilmu yang terpuji dan yang tercela, dan yang menimbulkan percampur -adukan. Dan hendaklah kamu meme­gangi orang-orang pilihan dalam menalar bagi keuntungan dirimu ! Lalu kamu mengikuti ulama salaf (yang terdahulu) atau kamu ber­gantung pada tali tipuan dan kamu menyerupai dengan ulama khalaf (yang terkemudian/modern).

Setiap ilmu yang diridhai oleh ulama salaf sudah terhapus. Apa yang ditekuni manusia maka sebagian besarnya ada­lah sesuatu yang diada-adakan dan baru.

sungguh shahih sabda Ra­sulullah SAW. :
Hadits seperti ini telah terdapat di muka.
Artinya : "Islam itu muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana Islam itu muncul. Maka kebaikanlah bagi orang-orang yang asing". Lalu ditanyakan : "Siapakah orang-orang yang asing itu ?". Beliau bersabda : "Yaitu orang-orang yang memperbaiki apa yang dirusakkan oleh manusia dari sunnahku (sunnahku yang dirusak oleh manusia), dan orang-orang yang menghidupkan sunnahku yang dimatikan oleh mereka".28)

Dan dalam hadits lain :
Artinya : "Mereka adalah orang-orang yang berpegangan kepada apa yang kamu sekarang atasnya,,.29)

Dan dalam hadits lain :
Artinya "Orang-orang yang asing adalah manusia yang sedikit yang berbuat baik di antara manusia banyak. Yaitu orang-orang yang membenci mereka di kalangan makhluk lebih banyak dari pada yang menyintai mereka ".30)
28)  H.R. Muslim dari hadits Abu Hurairah.
29)  Saya (pentakhrij hadits dalam kitab lhya' Ulumiddin) tidak melihat asal hadits ini.
30)  H.R. Ahmad dari hadits Abdullah bin 'Amr.
118
Ilmu-ilmu itu telah menjadi asing sekiranya orang yang mengingat­nya itu dimurkai. Oleh karena itu Ats Tsauri rahimahullah berkata : "Apabila kamu lihat orang yang 'alim itu banyak temannya maka keta­huilah bahwa ia adalah orang mencampur- adukkan karena jika ia mengucapkan
kebenaran maka mereka membencinya".

Penjelasan tentang kadar yang terpuji dari ilmu yang terpuji.

terjemah ihya : bab. 3 : Lafal yang keempat adalah dzikir

terjemah ihya bab 3
d. Lafal yang keempat adalah dzikir (ingat kepada Allah) dan mengingatkan berdzikir.

Allah Ta'ala berfirman
Artinya : "Dan berilah peringatan sesungguhnya peringatan itu ber­guna bagi orang-orang mumin ". (Adz Dzariyat : 55).

Telah terdapat hadits-hadits yang banyak mengenai pujian terhadap majlis-majlis dzikir

seperti sabda Nabi SAW :
1Artinya : "Apabila kamu melewati taman-taman syurga maka makan dan minumlah dengan puas !". Ditanyakan : "Apakah taman-taman syurga itu ?" Beliau bersabda : "Majlis-majlis dzikir ". 12)

Dan di dalam hadits
Artinya "Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang berkelana di dunia selain malaikat makhluk (yang mengurusi makhluk). Apabila mereka melihat majlis dzikir maka seba­gian mereka memanggil kepada sebagian yang lain : "Marilah kepada apa yang kamu cari ! ". Lalu mereka men­datanginya, mengitari dan mendengarkan. Ketahuilah, ingatlah Allah dan ingatkanlah dirimu untuk berdzikir !,43)

Hal itu dinukil sampai kepada apa yang kamu lihat sebagian besar juru nasihat pada masa ini membiasakannya yaitu kisah-kisah, syi'ir­syi'ir, syathah (kalimat yang jauh dari ajaran agama) dan thammah (kata-kata yang menutupi kebenaran).

Adapun kisah-kisah maka itu bid'ah. Telah terdapat larangan ulama salaf dari duduk-duduk ke tukang kisah (dongeng). Mereka berkata : "Hal itu tidak ada pada masa Rasulullah SAW". 14) tidak pada masa Abu Bakar dan Umar ra sehingga timbulnya fitnah dan mun­culnya tukang-tukang kisah (dongeng).

Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar ra keluar dari masjid, lalu ia berkata : "Tidaklah mengeluarkan saya kecuali tukang kisah (dongeng). Seandainya tidak karena ia niscaya saya tidak keluar".

Dhamrah berkata : -"Saya berkata kepada Sufyan Ats Tsauri 'Kami menghadapi tukang kisah dengan wajah-wajah kami". Lalu ia berkata : "Palingkanlah bid'ah-bid'ah itu ke punggung (belakang) mu ! ".

12)   H.R. At Tirmidzi dari Anas dan ia menghasankannya.
13)   Muttafaq 'alaih dari hadits Abu Hurairah.
14)   H.R. Ibnu Majah dari hadits Umar dengan sanad yang baik.
105
Ibnu 'Aun berkata : "Saya masuk pada Ibnu Sirin, lalu ia ber­kata : "Hari ini tidak ada khabar". Lalu saya berkata : "Amir (Raja) melarang tukang-tukang kisah untuk berkisah". Maka ia berkata "Itu sesuai dengan kebenaran".

Al. A'masy masuk ke masjid Bashrah, ia melihat tukang kisah sedang berkisah dan ia berkata : "Al A'masy menceritakan kepada kami, lalu ia (Al A'masy) masuk ke tengah lingkaran (orang-orang yang duduk) seraya mencabut bulu ketiaknya.

Berkatalah tukang kisah itu : "Hai tuan, tidakkah kamu malu ?", Maka ia (Al A'masy) ber­kata : "Mengapa ? Saya dalam sunnah sedangkan kamu dalam kedus­taan. Sayalah Al A'masy, dan saya tidak berceritera kepadamu".

Ahmad berkata : "Kebanyakan manusia dalam beradusta adalah tukang kisah dan tukang bertanya".
Ali ra mengusir tukang kisah dari masjid Bashrah. Ketika ia men­dengar perkataan Hasan Al Bashri maka ia tidak mengusirnya karena ia berbicara mengenai ilmu akhirat, memikirkan mati, memperingat­kan tentang carat-carat nafsu, bahaya-bahaya amal, goresan-goresan hati oleh syaithan, segi keberhati-hatian dari padanya, ia ingatkan karunia-karunia dan nikmat-nikmat Allah dan kelalaian hamba (manusia) dalam mensyukurinya, ia kenalkan kehinaan dunia, cacat­-cacatnya, putusnya, kerusakan janjinya, bahaya dan bencananya. Ini adalah peringatan yang terpuji menurut Syara' yang didorongkan oleh apa yang diriwayatkan di dalam hadits Abu Dzarr ra sekiranya beliau bersabda :

Artinya "Menghadiri majlis dzikir adalah lebih utama dari pada sha­lat seribu reka'at. Menghadiri majlis ilmu adalah lebih utama dari pada menjenguk seribu orang yang sedang sakit. Dan menghadiri majlis ilmu itu adalah lebih utama dari pada menghadiri seribu jenazah". Lalu ditanyakan –Wahai Rasulullah, dan dari membaca AI Qur'an ?".

 Beliau bersabda : "Apakah membaca Al Qur'an itu berfaidah kecuali dengan ilmu ?" (Pertanyaan di sini bukan pertanyaan sesungguhnya tapi pertanyaan untuk meniadakan, maksud­nya tidaklah membaca Al Qur'an itu berfaidah kecuali dengan ilmu = Peno.15)

Atha' rahimahullah berkata : "Majlis dzikir itu menghapus tujuh puluh kali majlis permainan". Orang-ordng yang menghiasi kata-­katanya dengan kedustaan menjadikan hadits-hadits ini sebagai hujjah untuk mensucikan jiwa mereka.

Dan mereka memindahkan nama dzikir kepada khurafat (sesuatu yang dibuat-buat) dan mereka melupakan jalan dzikir yang terpuji. Mereka sibuk dengan kisah-kisah yang menyampaikan kepada perbedaan-perbedaan pendapat, penam­bahan dan pengurangan.

Kisah-kisah itu keluar dari yang terdapat di dalam Al Qur'an, dan menambahinya.
Sesungguhnya sebagian dari kisah-kisah itu ada yang bermanfaat untuk didengarkan, dan sebagiannya ada yang memadharatkan walau­pun kisah itu benar. Barang siapa, membuka pintu itu atas dirinya maka bercampurlah atasnya benar dengan dusta, dan sesuatu yang berman­faat dengan sesuatu yang memadharatkan. Oleh karena itu maka dila­ranglah hal itu.

Dan oleh karena itu pula berkatalah Ahmad bin Ham­bal rahimahullah : "Alangkah butuhnya manusia kepada tukang kisah yang benar". Jika kisah itu dari kisah-kisah para Nabi SAW. mengenai sesuatu yang berhubungan dengan urusan agama mereka sedangkan tukang kisah itu benar Berta sahib riwayatnya maka saya berpenda­pat tidak mengapa (tidak berdosa).

Berhati-hatilah terhadap kedustaan dan hikayat-hikayat berba­gai keadaan yang mengisyaratkan kepada kesalahan-kesalahan atau hal-hal yang dipermudah-mudahkan yang melengahkan pemahaman orang-orang awam dari menangkap ma'na-ma'nanya atau keadaan kisah-kisah itu kilasan yang jarang dan mengiringi dengan tutupan­tutupan yang dapat mengetahui kebaikan-kebaikan yang diberikan atasnya.

Sesungguhnya orang awam itu berpegang dengan yang demikian itu dalam bermudah-mudahannya dan kelupaan-kelupaannya. Dan ia siapkan alasan bagi dirinya dalam hal itu, dan ia berhujjah bahwa ia berhikayat ini dan itu dari sebagian syaikh-syaikh clan orang-orang besar. Maka masing-masing dari kita tidaklah heran dalam mengha­dapi kema'siyatan. Dan jika saya ma'siyat kepada Allah Ta'ala maka
15) Lihat pads bab pertama.
107
orang yang lebih besar dari says. Hal itu memberi faidah kepadanya untuk berani kepada Allah Ta'ala dari segi ia tidak mengetahuinya.
Setelah memelihara dari dua hal yang ditakuti maka tidak menga­pa terhadapnya. Ketika itu ia kembali kepada kisah-kisah yang ter­puji dan kepada apa yang terkandung oleh Al Qur'an dan shahih di dalam kitab-kitab hadits yang shahih. Dan sebagian manusia ada yang membolehkan membuat hikayat-hikayat yang mendorong untuk tha'at. Dan ia menduga bahwa maksudnya di dalam membuat kisah-kisah itu adalah menyeru manusia kepada Allah. Ini adalah hembusan Syaithan karena di dalam kebenaran terdapat sesuatu yang dilebar luas­kan dari kedustaan. Dan mengenai apa yang disebutkan oleh Allah Ta'ala SWT tidak butuh untuk dibuat-buat dalam memberi nasihat.
Bagaimana, sedangkan beliau (Nabi) tidak menyukai untuk mem­beratkan dengan membuat sajak, dan beliau menganggap hal itu dari membuat-bust. Sa'ad bin Abi Waqqash ra berkata kepada anaknya yang laki-laki, Umar di mans Sa'd mendengarnya bersajak : "Inilah sesuatu yang menjadikan kebencianku kepadamu. Semoga Allah tidak memenuhi kebutuhanmu selamanya_sehingga kamu bertaubat". Pada­hal Urnar'datang kepadanya karena suatu kebutuhan. Beliau SAW. bersabda kepada Abdullah bin Rawahah mengenai sajak dari tiga kata :

Artinya : "Takutlah kamu terhadap sajak hai Ibnu Rawahah !"16)
Seolah-olah sajak yang ditakutkan dan diberatkan adalah sesuatu yang lebih atas tiga kata. Oleh karena itu ketika seorang laki-laki berkata mengenai diyat janin
krtinya : "Bagaimanakah kami membayar diyat orang (anak) yang belum makan, belum minuet, belum berteriak dan belum
16) Saya tidak mendapatkannya demikian, tetapi ada riwayat Ahmad, Abu Ya'la, Ibnus Sunni dan Abu Na'im bahwa Aisyah berkata kepada Sa'ib : "Takutlah kamu terhadap sajak !"
1o8
bersuara ? Hal yang seperti itu sia-sicr. Maka Nabi SA W bersabda "Apakah (itu) sajak seperti sajak bangsa Arab ?11.17)
Adapun syi'ir-syi'ir (puisi) maka memperbanyaknya untuk mem­beri nasihat itu tercels. Allah Ta'ala berfirman :
Artinya : "Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengem­bara di tiap-tiap lembah ?" (Asy Sya'ara : 224 – 225).
Dan Dia Ta'ala berfirman :
Artinya : "Dan. Kami tidak mengajarkan syi'ir kepadanya (Muhammad) dan syi'ir itu tidak seyogya baginya". (Yasin : 69).
Kebanyakan syi'ir yang dibiasakan oleh pars pemberi nasihat ada­lah syi'ir yang berhubungan dengan pensifatan rindu dan keindahan orang yang dirindukan, ruh bertemu dan sakitnya perpisahan. Majlis itu tidaklah berisi kecuali orang-orang umum (ayam) yang bodoh, batin mereka dipenuhi oleh syahwat, dan hati mereka tidak terlepas dari menoleh kepada bentuk-bentuk yang mans. Maka syi'irnya tidak ber­gerak dari hati mereka kecuali sesuatu yang menetap di dalamnya maka api syahwat berkobar di dalamnya. Lalu mereka berteriak dan meluap­kan perasaannya. Kebanyakan hal itu atau seluruhnya kembali kepada macam kerusakan maka tidak seyogya untuk mempergunakan syi'ir kecuali syi'ir yang di dalamnya terkandung nasihat atau hikmah atas jalan kesaksian dan menyenangkan. Beliau SAW bersabda
Artinya : "Sungguh sebagian dari syi'ir itu adalah hikmah 18)
17)     H.R. Muslim dari hadits Mughirah.
18)     H.R. Al Bukhari dari hadits Ubai bin Ka'ab.
109Seandainya majlis itu berisikan orang-orang khusus yang meli­hat ketenggelaman hati mereka dengan cinta kepada Allah Ta'ala, clan ticlak ada orang-orang selain mereka bersama mereka maka syi'ir tidak­lah membahayakan mereka di mana tidak membahayakan mereka syi'ir yang lahirnya kepada makhluk karena orang yang mendengarkan itu menempatkan setiap apa yang didengarnya pads apa yang dikuasai oleh hatinya, sebagaimana akan datang pentahkikan hal itu dalam kitab pendengaran. Oleh karena itu Al Junaid rahimahullah berbicara kepada belasan orang. Jika mereka banyak maka ia ticlak berbicara. Dan ahli majlisnya tidak pernah sempurna dua puluh orang. Sekumpulan orang datang ke pintu rumah Ibnu Salim, lalu dikatakan kepadanya
"Berbicaralah ! teman-temanmu telah datang". Lalu ia menjawab "Tidak, mereka bukan teman-temanku, mereka adalah teman majlis. Sesungguhnya teman-temanku adalah orang-orang khusus".

dilanjutkan.......... 
kalimat yang jauh dari ajaran agama

ihya bab. 3 : Perkataan yang kedua adalah ilmu, dan yang ketiga adalah tauhid

b. Perkataan yang kedua adalah ilmu.

Dahulu ilmu itu dipergunakan untuk menyebut ilmu mengenai Allah Ta'ala, tanda-tanda dan perbuatanNya terhadap hamba-hamba dan makhlukNya sehingga ketika Umar ra meninggal dunia,

Ibnu Mas'ud rahimahullah berkata : "Sembilan persepuluh ilmu telah mati". la mema'rifatkan ilmu dengan ma'rifat (al ilmu). Kemudian ia menaf­sirkan ilmu itu dengan ilmu mengenai Allah SWT. Dan mereka telah mempergunakan ilmu secara khusus juga, sehingga kebanyakan mereka memasyhurkan ilmu bagi orang yang sibuk dengan diskusi dengan lawan (pendapat) mengenai masalah-masalah fiqh dan lainnya.

Lalu dikatakan 'ia orang 'alim yang hakiki, dan la tokoh dalam ilmu. Dan barang siapa yang tidak terlatih dan tidak sibuk dengan hal itu, ia dianggap golongan orang-orang yang lemah, dan tidak dihitung di dalam golongan ahli ilmu.

100/59
Dan ini juga penggunaan secara khusus. Tetapi keutamaan-­keutamaan ilmu dan ulama kebanyakan pada orang-orang yang menge­tahui tentang Allah, hukum-hukumNya, perbuatan-perbuatan dan sifat-sifatNya. Sekarang secara mutlak telah menjadi untuk menye­but orang yang tidak meliputi ilmu-ilmu Syara' sedikitpun selain perdebatan-perdebatan yang kadangkala dalam masalah-masalah khi­lafiyyah. Dengan demikian itu ia dianggap tokoh ulama pada hal ia bodoh dalam tafsir, hadits-hadits, ilmu madzhab dan lainnya. Hal itu menjadi sebab yang membinasakan makhluk banyak dari orang-orang yang menuntut ilmu.

c. Lafal yang ketiga adalah tauhid.

Sekarang lafal itu telah menjadi ungkapan tentang membuat pem­bicaraan, mengetahui jalan perdebatan dan meliputi (mengetahui) jalan menangkis lawan bertengkar dan mampu untuk memfasihkannya dengan memperbanyak pertanyaan-pertanyaan, menimbulkan keragu­an-keraguan dan menyusun hal-hal yang lazim sehingga beberapa kelompok dari mereka menjuluki diri mereka dengan ahli keadilan dan tauhid.

Orang-orang yang ahli ilmu kalam (mutakallimun) disebut dengan orang-orang yang 'alim tentang tauhid dalam pada itu selu­ruh apa yang khusus bagi buatan ini, sekali tidak dikenal pada masa pertama.

Bahkan dulu terdapat pengingkaran yang keras dari seba­gian mereka terhadap orang yang membuka pintu perdebatan dan pertengkaran.

Adapun dalil-dalil zhahir yang terkandung oleh Al Qur'an yang mana pikiran segera dapat menerimanya pada awal pendengaran. Hal itu telah diketahui seluruhnya. Ilmu dengan Al Qur'an adalah ilmu seluruhnya.

Sedangkan tauhid di sisi mereka adalah ungkapan tentang urusan lain yang tidak dipahami oleh sebahagian besar mutakallimun. Jika mereka memahaminya namun mereka tidak dapat mensifatinya. Yaitu ia melihat seluruh urusan itu dari Allah 'Azza Wa Jalla dengan pan­dangan yang memutus penolehannya terhadap sebab-sebab dan perantara-perantara. la tidak melihat kebaikan dan keburukan kecuali dari padanya 'Azza Wa Jalla. Maka ini adalah kedudukan yang mulia. Salah satu buahnya adalah tawakkal sebagaimana penjelasannya akan datang pada kitab tawakkul (tawakkal). Sebagian dari buahnya ada­lah tidak mengadu kepada makhluk dan tidak murka kepada mereka, ridha dan berserah diri kepada keputusan Allah Ta'ala.
101
Salah satu buahnya adalah perkataan Abu Bakar Ash Shiddiq ra ketika dikatakan bahwa pada waktu sakit wafatnya : "Apakah kami carikan dokter untukmu ?". Lalu ia menjawab : "Dokter itu mem­buatku sakit". Dan perkataan lain ketika ia sakit di mana ditanya­kan kepadanya : "Apakah yang dikatakan dokter/tabib kepadamu ?
Lalu ia berkata : "Dokter itu mengatakan kepadaku :
"Sesungguhnya Aku berbuat apa yang Aku kehendaki".

Dalil-dalilnya akan datang pada kitab tawakkul (tawakkal) dan kitab tauhid.
Tauhid adalah permata indah dan tauhid itu mempunyai dua kulit di mana salah satu dari keduanya lebih jauh dari isinya dari pada kulit­nya yang lain. Manusia mengkhususkan nama (tauhid) untuk kulit dan tindakan menjaga kulit, namun mereka melalaikan isi secara keseluruhan. 

Kulit pertama adalah kamu ucapkan

(tidak ada Tuhan selain Allah). Ini disebut tauhid sebagai pelawan tri­nitas (Tuhan terdiri dari tiga unsur yaitu Tuhan Bapa, Tuhan anak dan roh kudus) yang ditegaskan oleh orang-orang Kristen (Nashara). Tetapi itu kadang-kadang keluar dari orang munafik yang mana raha­sianya berbeda dengan lahirnya.

Kulit kedua adalah di dalam hati agar tidak ada penyelisihan dan pengingkaran mafhum perkataan ini. Bahkan hati yang zhahir itu men­cakup terhadap i'tikadnya. Demikian juga membenarkannya. Itu ada­lah tauhid orang-orang biasa (umum). Orang-orang mutakallimun sebagaimana yang dikemukakan di muka adalah penjaga kulit ini dari campuran golongan bid'ah.

Yang ketiga adalah isi yaitu melihat seluruh urusan dari Allah Ta'ala yaitu suatu pandangan yang memutus penolehannya terhadap perantara-perantara, dan menyembahNya dengan penyembahan yang menyendiri kepadaNya maka ia tidak menyembah kepada selainNya. Keluar dari tauhid ini adalah setiap orang yang mengikuti hawa nafsu karena ia telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Allah Ta'ala berfirman :

Artinya : "Apakah kamu melihat orang yang mengambil hawa nafsunya sebagai Tuhannya ?" (Al Jatsiyah : 23).
102
Dan Nabi SAW bersabda

Artinya : "Tuhan yang paling dibenci disisi Allah, yang disembah di bumi adalah hawa nafsu".

Dan berdasarkan atas pentahkikan, barang siapa yang merenungkan maka ia mengetahui bahwa penyembah berhala tidaklah ia menyem­bah berhala namun ia menyembah hawa nafsunya karena nafsunya cenderung kepada agama nenek moyangnya maka ia mengikuti kecen­derungan. itu.

 Sedangkan kecenderungan nafsunya kepada hal-hal yang disenangi itu adalah salah satu ma'na yang diungkapkan oleh hawa nafsu.

Keluarlah dari tauhid ini benci kepada makhluk dan menoleh kepada mereka. Sesungguhnya orang yang memandang bahwa kese­luruhan itu dari Allah 'Azza Wa Jalla maka bagaimanakah ia benci kepada selainNya ?

Tauhid adalah ungkapan dari kedudukan (maqam) ini, yaitu kedudukan shiddiqin. Maka lihatlah ke manakah tauhid itu dialihkan dan kulit manakah yang menjadi kepuasannya ? Dan bagai­manakah mereka mengambilnya sebagai pegangan dalam memuji dan berbangga dengan sesuatu yang namanya terpuji namun tidak memi­liki ma'na yang berhak mendapat pujian yang hakiki. Demikian itu seperti pailitnya orang yang pagi-pagi buta di mana ia menghadap kiblat seraya membaca

Artinya : "Saya hadapkan wajahku kepada Dzat Yang menciptakan langit dan bumi dengan kecenderungan ".

Itu adalah kedustaan pertama di mana ia membuka dengannya kepada Allah meskipun wajah hatinya tidak menghadap kepada Allah Ta'ala secara khusus karena sesungguhnya jika ia menghendaki dengan wajah itu wajah lahir maka wajahnya tidaklah menghadap kecuali kepada Ka'bah dan penghadapannya kepadanya itu khusus dari seluruh arah.

 Padahal Ka'bah itu bukanlah arah bagi Dzat Yang Menciptakan langit dan bumf sehingga orang yang menghadap kepadanya tidaklah menghadap kepadaNya. Allah Maha Tinggi dari dibatasi oleh arah dan daerah.
103
Dan jika dengan wajah itu wajah hati maka itulah yang dituntut oleh orang yang beribadah.

Maka bagaimanakah ia benar perkataan­nya sedangkan hatinya itu pulang balik dalam kepentingan dan hajat duniawinya ? Dan ia bertindak untuk mencari daya upaya dalam menghimpun harta dan pangkat, memperbanyak sebab-sebab dan mengarahkan keseluruhan kepadanya.

Kapankah ia menghadapkan wajahnya kepada Dzat Yang Men­ciptakan langit dan bumi ? Kata-kata ini adalah khabar tentang haki­kat tauhid. Orang yang mentauhidkan (mengesakan) adalah orang yang tidak melihat kecuali Yang Maha Esa dan ia tidak menghadapkan wajahnya kecuali kepadaNya,

yaitu mengikuti firman Allah Ta'ala

Artinya : "Katakanlah : Allah, kemudian tinggalkanlah (biarkanlah) mereka bermain-main dalam kesesatannya".(AI A Wam : 91).

Yang dimaksud dengan 'katakanlah' itu perkataan dengan lidah karena lidah itu penterjemah yang sesekali ia benar jujur) dan pada kali yang lain ia berdusta. Namun tempat pandangan Allah Ta'ala adalah sesuatu yang diterjemahkan yaitu hati. Dan hati itulah tambang dan sumber tauhid.

 dilanjutkan....................
d. Lafal yang keempat adalah dzikir (ingat kepada Allah) dan mengingatkan berdzikir.

ihya bab 3. Penjelasan tentang apa yang diganti dari lafal-lafal ilmu.

ihya bab 3 :  ......................
Penjelasan tentang apa yang diganti dari lafal-lafal ilmu.

Ketahuilah bahwa tempat tumbuhnya percampuran ilmu yang ter­cela dan ilmu Syari'at adalah perubahan nama-nama yang terpuji, penggantian dan pemindahannya dengan tujuan-tujuan yang rusak kepada ma'na-ma'na yang tidak dikehendaki oleh salafush shalih dan penduduk (muslim) abad pertama.

Itu ada lima lafal, yaitu : fiqh, ilmu, tauhid, mengenai dzikir dan. hikmah. Ini adalah nama-nama yang ter­puji, dan orang-orang yang bersifatan dengan sifat-sifat itu adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan dalam. agama. Tetapi seka­rang lafal-lafal itu beralih kepada ma'na-ma'na yang tercela lalu hati lari dari mencela orang yang bersifat dengan ma'na-ma'nanya karena terkenalnya kemutlakan nama-nama ini atas mereka.

a. Lafal pertama adalah fiqh,

di mana mereka telah memper­gunakannya dengan khusus, tidak dengan menukil dan merubah karena mereka telah mengkhususkannya dengan pengetahuan cabang-cabang yang asing mengenai fatwa-fatwa, mengetahui detail-detail illat (sebab)nya, memperbanyak pembicaraan tentangnya dan memelihara
6)  H.R. Abu Dawud dari hadits Buraidah.
7)  Saya tidak mendapatkan asalnya.

artikel-artikel yang berhubungan dengannya. Barang siapa yang lebih mendalam mengenai hal itu dan banyak kesibukan dengannya maka ia disebut al afqah (orang yang lebih mengetahui mengenai fiqh).
Nama fiqh pada masa pertama itu mutlak untuk menyebut ilmu akhirat, pengetahuan bahaya-bahaya nafsu secara detail, hal-hal yang merusakkan amal, kuatnya pengetahuan tentang hinanya dunia, san­gat memperhatikan kepada kenikmatan akhirat dan menguasakan takut di hati.

Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah 'Azza Wa Jalla

Artinya : "Agar mereka mendalami mengenai agama dan agar mereka memberi peringatan kepada kaum mereka apabila mereka kembali kepada mereka (kaum mereka)". (Al Bagarah 122).

Apa yang diperoleh oleh peringatan dan penakutan adalah fiqh, bukan pencabangan-pencabangan thalak, memerdekakan hamba sahaya, li’an, salam dan sewa menyewa. Karena hal itu tidak dihasilkan oleh peringatan dan penakutan, bahkan semata-mata terus menerus pada­nya menjadikan hati itu keras dan menghilangkan hati takut kepa­daNya sebagaimana kita saksikan sekarang terhadap orang-orang yang semata-mata menekuninya.

Dan Allah Ta'ala berfirman :
Artinya : "Mereka mempunyai hati yang mana dengannya mereka tidak dapat memahami" (At Araf : 179).

Dan Dia maksudkan dengannya adalah ma'na-ma'na iman, bukan fatwa-fatwa. Demi umurku, bahwasanya fiqh dan faham menurut bahasa adalah dua nama dengan satu ma'na. Dalam pemakaiannya kata itu dipergunakan dalam pembicaraan baik dahulu maupun seka­rang.

Allah Ta'ala berfirman :

Artinya : "Sungguh kamu lebih ditakuti di dalam dada mereka dari pada Allah" (AI Hasyr : 13).
97
Sedikitnya ketakutan mereka kepada Allah dan penghormatan mereka kepada kekuasaan makhluk menjadikan mereka sedikit fiqhnya. Maka lihatlah bahwa fiqh itu merupakan hasil dari bukan menghafal definisi-definisi fatwa-fatwa atau hasil dari tidak adanya ilmu-ilmu yang telah kami sebutkan.

 Nabi SAW bersabda :

Artinya : "Ulama'(Orang-orang yang 'alim), hukama' (orang-orang yang bijak), dan fuqaha'(orang-orang yang memahami),,. 8)

Bagi orang-orang yang diutus olehnya.

Sa'd bin Ibrahim Az Zuhri rahimahullah ditanya : "Siapakah pen­duduk Madinah yang paling faqih ?" Lalu ia menjawab : "Orang yang paling bertakwa kepada Allah Ta'ala". Seolah-olah ia menunjuk kepada buah fiqh.

Sedangkan takwa adalah buah ilmu batin, bukan fatwa-fatwa dan keputusan-keputusan.
Beliau SAW bersabda :
Artinya "Maukah saya beritakan kepadamu tentang faqih sebenar benar faqih ? ". Mereka menjawab : " Ya ". Beliau bersab­da : "Orang yang tidak putus asa dari rahmat Allah, ia merasa tidak aman dari tipu daya Allah, ia tidak putus asa dari kelapangan Allah, dan tidak meninggalkan Al Qur'an karena benci kepadanya dan menuju kepada selainnya ".9)

8)  H.R. Abu Na'im dalam Al Hilyah, Al Baihaqi dalam Az Zuhd, clan Al Khathib dalam At Tarikh dari Suwaid bin Al Harts dengan sanad yang lemah.
9)  H.R. Abu Bakr bin Laal dalam Makarimul akhlak, Abu Bakr bin As Sunni dan Ibnu Abdil Barr dari hadits Ali.
98
Dan ketika Anas bin Malik meriwayatkan sabda Nabi SAW :

Artinya "Sungguh saya duduk bersama suatu kaum yang meng­ingat (berdzikir) kepada Allah Ta'ala dari pagi sampai ter­bitnya matahari adalah lebih saya sukai dari pada saya memerdekakan empat orang hamba ". 10)

Anas berkata : "Saya menoleh kepada Zaid Ar Raqqasyi dan Ziyad An Namiri, dan ia berkata : "Majlis-majlis dzikir itu tidak seperti majlis-majlismu ini yaitu salah seorang di antaramu mengisahkan nasi­hatnya kepada teman-temannya dan menyampaikan hadits. Sesungguh­nya kami duduk lalu kami mengingat iman, merenungkan Al Qur'an, memahami Al Qur'an dan menghitung-hitung nikmat-nikmat Allah kepada kami dengan pemahaman".

Disebutnya merenungkan Al Qur'an dan menghitung-hitung nikmat sebagai pemahaman (fiqh). Nabi SAW bersabda
Artinya "Seorang hamba tidaklah memahami dengan benar-benar pemahaman sehingga ia membenci manusia karena Dzat Allah dan sehingga ia melihat Al Qur'an itu mempunyai
segi-segi yang banyak ".11)

Dan diriwayatkan pula secara mauquf pada Abu Darda' ra. serta sab­danya :
Artinya : "Kemudian ia menghadap pada dirinya lalu ia sangat benci kepadanya".
10)  H.R. Abu Dawud dengan sanad yang balk.
11)  H.R. Ibnu Abdil Barr dari hadits Syaddad bin Aus dan ia mengatakan tidak benar marfu'nya hadits itu.
99
Fardad As Sabkhi bertanya kepada Hasan tentang sesuatu lalu ia menjawabnya. Kemudian ia berkata : "Para fuqaha' itu menyeli­sihi kamu". Maka Hasan rahimahullah berkata : "Semoga ibumu merasakan kehilanganmu, Furaiqid". Apakah kamu melihat seorang faqih dengan mata kepalamu ? Seorang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia, cinta akhirat, yang waspada terhadap agamanya, yang terus menerus beribadah kepada Tuhannya, yang wara’ yang mena­han diri dari merusakkan kehormatan muslimin, yang menjaga diri terhadap harta benda mereka (dari yang haram), yang memberi nasi­hat kepada jama'ah mereka". Dan dalam keseluruhannya itu, ia (Hasan) tidak mengatakan 'orang yang menghafal cabang-cabang fatwa'. Dan saya tidak mengatakan bahwa nama fiqh itu tidak men­jangkau fatwa-fatwa mengenai hukum-hukum lahir tetapi dengan jalan umum dan mencakup atau dengan jalan penelitian maka penamaan mereka bagi fiqh adalah lebih banyak untuk ilmu akhirat.

Dari pengkhususan ini jelas pencampur adukan kebangkitan manusia atas penggunaan fiqh semata-mata dan berpaling dari ilmu akhirat dan hukum-hukum hati. Mereka mendapati hal itu jelas dari naluri karena ilmu batin itu tertutup dan mengamalkannya itu sukar. Sedangkan mempergunakannya untuk sampai mencari kekuasaan, pengadilan, pangkat dan harta itu sukar maka Syaithan mendapat­kan medan untuk membaikkan hal itu di dalam hati dengan peran­taraan mengkhususkan nama fiqh yang mana itulah nama yang ter­puji menurut Syara'.

dilanjutkan..............
b. Perkataan yang kedua adalah ilmu.

Wednesday, November 30, 2011

terjemah ihya ulumuddin jilid 1 : bab.3, TENTANG ILMU-ILMU YANG TERPUJI MENURUT ORANG-ORANG UMUM PADAHAL TIDAK TERMASUK ILMU-ILMU YANG TERPUJI

BAB TIGA
TENTANG ILMU-ILMU YANG TERPUJI MENURUT
ORANG-ORANG UMUM PADAHAL TIDAK TERMASUK
ILMU-ILMU YANG TERPUJI. DAN DI DALAMNYATERDAPAT PENJELASAN SEGI YANG KARENANYAKADANG-KADANG SEBAGIAN ILMU-ILMU ITU TERCELA,PENJELASAN PENGGANTIAN ILMU-ILMU YANG TERTINGGIYAITU FIQH, ILMIJ, TAUHID, TADZKIR DAN HIKMAH.DAN PENJELASAN TINGKAT YANG TERPUJIDAN YANG TERCELA DARI ILMU-ILMU SYARI'AT.

Penjelasan tentang sebab tercelanya ilmu yang tercela.

Mudah-mudahan kamu mengatakan : "Ilmu adalah mengetahui sesuatu menurut apa adanya", dan ilmu itu adalah sebagian dari sifat-sifat Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah sesuatu itu menjadi ilmu dan bagaimanakah dalam keadaannya sebagai ilmu menjadi ilmu yang ter­cela ?
Ketahuilah bahwa ilmu itu sendiri tidaklah tercela. Namun ilmu itu tercela dalam hak hamba karena salah satu dari tiga buah sebab, yaitu :

a. IImu.itu menyampaikan kepada kemadharatan (bahaya) apapun.

Adakalanya bagi pemiliknya (ilmu) atau orang-orang lain seperti tercelanya ilmu sihir dan tenung. Itu adalah benar karena AI Qur'an telah menyaksikannya, dan itu adalah sebab yang menyampaikan kepada perceraian antara suami isteri.

 Rasulullah SAW telah disihir 0 dan juga orang yang sakit dengan sebab sihir itu sehingga Jibril memberitahukan hal itu kepadanya, dan mengeluarkan sihir itu dari bawah batu di dalam dasar sumur.

Sihir adalah satu macam yang diketahui dari ilmu (pengetahuan) mengenai kekhususan-kekhususan benda-benda dan dengan urusan-urusan perhitungan mengenai mathla' (tempat terbit) bintang-bintang. Dari benda-benda itu diambil bentuk menurut gambar diri orang yang disihir, dan diamatinya pada waktu ter­tentu dari mathla' bintang-bintang disertai dengan melafalkan kata-kata kekafiran dan keji yang bertentangan dengan syara'.
1) Muttafaq 'alaih dari hadits Aisyah.
88
Dengan sebab itu ia dapat berhubungan untuk minta tolong kepada syaithan-syaithan. Dan dari kumpulan itu dengan hukum adat yang dijalankan oleh Allah Ta'ala tercapailah keadaan-keadaan yang asing pada diri orang yang disihir.
Mengetahui sebab-sebab ini dari segi bahwasanya itu adalah suatu pengetahuan maka tidaklah tercela. Tetapi karena ilmu itu tidak layak kecuali untuk membuat madharat terhadap manusia pada hal perantaraan kepada kejahatan adalah jahat. Maka itulah sebab yang menjadikannya (sihir) itu ilmu yang tercela.

Bahkan barang siapa yang mengikuti seorang wali dari wali-wali Allah untuk membunuhnya sedangkan wali itu telah bersembunyi dari pada­nya di tempat yang terjaga, apabila orang yang zhalim bertanya tentang tempatnya maka tidak boleh menunjukkan atasnya namun wajib berdusta. Menuturkan tempat wali itu adalah petunjuk dan memberi pengetahuan tentang sesuatu menurut apa adanya, tetapi itu adalah tercela karena hal itu menyampaikan kepada kemadharat­an.

b. Ilmu itu adalah memadharatkan pemiliknya pada umumnya seperti ilmu nujum.
Sesungguhnya ilmu itu sendiri tidak tercela pada dzat­nya karena ilmu nujum itu dua bagian :

1). Satu bagian adalah perhitungan, pada hal Al Qur'an telah menyatakan bahwa perjalanan matahari dan bulan itu dihitung, karena Allah 'Azza Wa Jalla berfirman :

Artinya : "Matahari dan bulan itu dengan perhitungan ". (Ar Rahman : 5).

Dan Allah 'Azza Wa Jalla berfirman
Artinya "Dan butan, kami tentukan manzilah-manzilahnya (tempat-tempat peredarannya) sehingga  ia kembali seperti mayang tua" (Yaasiin : 39).
89
2). Hukum-hukum, dan hasilnya kembali kepada mengambil dalil atas peristiwa-peristiwa dengan sebab-sebab. Dan itu menye­rupai seorang dokter/tabib mengambil dalil dengan denyut jan­tung dan urat nadi terhadap sakit yang akan terjadi.

 Itu ada­lah mengetahui jalannya sunnatullah Ta'ala dan. adat kebia­saanNya pada makhlukNya.
Tetapi Syara' telah mencelanya. Beliau SAW bersabda :
2)   H.R. Ath Thabrani dari Ibnu Mas'ud dengan sanad yang baik.

Artinya :
Dan beliau SAW bersabda
3)   Artinya "Saya takut atas ummatku setelahku terhadap tiga segi, yaitu kezaliman Para imam, percaya kepada bintang-bintang dan mendustakan takdir" H.R. Ibnu 'Abdil Barr dari Abu Mihjam dengan sanad yang lemah.

Dan Umar bin Al Khaththab ra berkata : "Belajarlah mengenai bintang-bintang akan sesuatu yang dengannya kamu memperoleh petunjuk di darat dan di laut kemudian tahanlah

Tercegahnya ilmu itu karena tiga segi, yaitu

1. Ilmu nujum (ilmu perbintangan) itu memadharatkan sebagian besar makhluk. Sesungguhnya apabila disampaikan kepada mereka bahwa pengaruh-pengaruh ini terjadi setelah perjalanan bintang-bintang maka di dalam jiwa mereka terdapat kepercayaan bahwa bintang-­bintang itulah yang memberi pengaruh, dan bintang-bintang itu sebagai Tuhan yang merencanakan karena bintang-bintang itu benda-benda langit yang mulia. Dan besar melekatnya di dalam hati maka hati menoleh kepadanya dan ia memandang kebaikan dan keburukan itu terhalang atau diharapkan dari arahnya dan ter­hapuslah ingat kepada Allah Yang Maha Suci dari hatinya

karena orang yang lemah itu pandangannya terbatas pada perantara­perantara. Dan orang 'alim (pandai) lah yang memandang bahwa matahari, bulan dan bintang-bintang itu tunduk di bawah perin­tahNya SWT.

Contoh pandangan orang yang lemah kepada kejadian cahaya matahari setelah terbit matahari adalah seperti semut seandainya dijadikan akal dan semut itu berada di atas kertas dan melihat hitamnya tulisan yang membaru. Lalu semut itu menduga bahwa tulisan itu perbuatan pena dan semut itu tidak melihat ke atas dalam memandangnya untuk menyaksikan jari-jari. Dari padanya kemu­dian ke tangan, kemudian dari tangan ke kemauan yang mengge­rakkan tangan. Kemudian dari padanya kepada penulis yang mampu dan berkemauan.

Kemudian kepada Dzat Pencipta tangan, kemampuan dan kemauan. Sebagian besar pandangan makhluk itu terbatas pada sebab-sebab yang dekat dan rendah, ter­putus untuk naik kepada Pembuat sebab-sebab. Maka inilah salah .,satu sebab-sebab dilarangnya ilmu nujum (ilmu perbintangan).

2. Balawasanya hukum-hukum ilmu perbintangan itu adalah dugaan semata-mata, tidak mengetahui mengenai hak orang perseorang baik yakin maupun dugaan. Maka hukumnya itu adalah hi4kum kebo­dohan. Maka ketercelaannya itu atas dasar ini dari sisi bahwasa­nya ilmu perbintangan itu adalah kebodohan bukan dari sisi bah­wasanya ilmu tersebut adalah ilmu.

Hal itu telah menjadi mu'jizat bagi Nabi Idris as menurut apa yang dihikayatkan. Ilmu tersebut telah punah, terhapus dan lenyap. Dan sesuatu yang kebetulan benar dari ahli nujum secara jarang adalah kebetulan karena kadang-kadang ia melihat sebagian sebab-­sebab pada hal akibatnya itu tidak dapat dicapai kecuali setelah dipenuhinya syarat-syarat yang banyak, yang ticlak di dalam kemampuan manusia untuk melihat hakikat-hakikatnya.

 Jika sesuai di mana Allah Ta'ala mentakdirkan sebab-sebab itu maka kebe­tulan itu terjadi. Namun jika Dia tidak mentakdirkan maka ahli nujum itu salah.
Itu seperti manusia menebak bahwa hari ini hujan pada saat ia melihat awan berkumpul clan beiringan dari gunung-gunung. Lalu akan  demikian tenggelam dalam ilmu perbintangan dan yang mirip dengannya adalah melempar diri ke dalam bahaya dan tenggelam dalam kebodohan tanpa guna. Karena apa yang telah ditakdirkan itu tetap dan berjaga dari padanya adalah tidak mungkin.

 Beda dengan ilmu kedokteran karena kebutuhan kepadanya itu mende­sak. Sebagian besar dalil-dalilnya adalah sesuatu yang dapat diti­lik. Dan berbeda dengan ilmu ta'bir mimpi meskipun tebakan karena mimpi adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian, clan tidak membahayakan.

4. Tenggelam dalam suatu ilmu di mana orang yang tenggelam pada­nya itu tidak dapat mengambil faidah ilmu maka ia tercela dalam haknya, seperti mempelajari ilmu secara mendetail sebelum ilmu besar (garis besar)nya, ilmu yang tersembunyi sebelum ilmu yang terang-terangan.

Dan seperti membahas tentang rahasia-rahasia Ketuhanan karena para filosof dan mutakallimun meniliknya dan mereka tidak merdeka dengannya. Tidak dapat merdeka dengan­nya dan tidak mengetahui sebagian jalap-jalannya kecuali para Nabi dan para wali.

Maka wajib menghalangi manusia untuk memba­hasnya dan mengembalikan mereka kepada apa yang diucapkan oleh syara'. Maka dalam hal inilah terdapat sesuatu yang memuas­kan untuk mendapat taufik.

Berapa banyak orang yang tenggelam dalam beberapa ilmu namun ia mendapat madharat karenanya. Dan seandainya ia tidak tengge­lam padanya niscaya ia lebih baik dalam beragama dari pada apa yang terjadi padanya.

Tidaklah diingkari keadaan ilmu itu membahaya­kan sebagian manusia sebagaimana daging burung dan macam-macam manisan yang lunak itu membahayakan bagi anak kecil yang masih disusui.

Telah dihikayatkan bahwa sebagian manusia mengadu kepada dokter akan kemandulan isterinya, ia tidak beranak. Lalu dokter/tabib itu memeriksa denyut jantung dan urat nadinya, kemudian berkata : "Kamu tidak membutuhkan obat karena kamu akan mati empat puluh hari mendatang di mana denyutan jantung dan urat nadi atas yang demikian". Maka wanita itu merasakan ketakutan yang amat sangat dan ia susah hidupnya. la keluarkan harta bendanya lalu dibagi-bagikan dan ia membuat wasiat. Tinggallah ia tidak makan dan tidak minum sehingga mana itu habis, namun ia tidak mati. Lalu suaminya datang kepada dokter/tabib itu, sambil berkata kepadanya : "la (isterinya) tidak mati". Lalu dokter/tabib itu menjawab : "Saya telah mengetahui hal itu. Setubuhilah ia maka ia akan beranak". Lalu laki-laki itu bertanya : "Bagaimanakah itu ? ". la menjawab : "Saya melihat­nya gemuk dan lemak telah menutup mulut rahimnya dan saya tahu bahwa ia tidak kurus kecuali dengan takut mati maka saya menakut-­nakutinya dengan yang demikian itu, sehingga ia kurus dan hilanglah penghalang untuk beranak".

Ini memberikan perhatian kepadamu atas dirasakannya bahaya sebagian ilmu, dan membuat kamu faham ter­hadap ma'na sabda beliau SAW :

Artinya : "Kami berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak ber­guna ". 5)

Maka ambillah pelajaran dari hikayat ini dan janganlah kamu menjadi pembahas ilmu-ilmu yang dicela oleh Syara' dan dilarangnya. Tetaplah kamu mengikuti para shahabatnya ra dan cukupkanlah pada as Sunnah.

Keselamatan itu dalam mengikuti sedangkan bahaya itu dalam membahas tentang sesuatu dan merdeka (lepas dari ikatan). Dan janganlah kamu memperbanyak debatan dengan pendapatmu, akalmu, dalilmu, buktimu dan dugaanmu bahwasanya saya membahas tentang sesuatu agar saya mengetahuinya menurut apa adanya".

Maka ke­madharatan manapun dalam memikirkan tentang ilmu maka kema­dharatan yang kembali kepadamu itu adalah lebih banyak. Berapa banyak sesuatu yang kamu tilik lalu penilikanmu atasnya itu mem­bahayakan kamu dengan kemadharatan yang hampir membinasakan kamu dalam akhirat jika Allah Tidak menyusulkan rahmatNya kepadamu.

Ketahuilah bahwasanya sebagaimana dokter yang pandai mengeta­hui rahasia pengobatan yang dipandang jauh oleh orang yang tidak mengetahuinya. Maka demikian juga para Nabi adalah dokter hati dan orang-orang yang mengetahui sebab-sebab kehidupan akhirat maka janganlah kamu menghukumi sunnah-sunnah jalan) mereka dengan apa yang masuk di akalmu maka itu menyebabkan kamu binasa.

5) H.R. Ibnu Abdil Barr dari hadits Jabir dengan sanad yang baik. Dan pads Ibnu
Majah dengan lafal:(mohoniah perlindungan).

Berapa banyak orang yang ditimpa halangan di jari-jarinya lalu akal­nya menghendaki untuk menggapainya sampai seorang dokter yang cerdik itu memperingatkan bahwa pengobatannya itu adalah meng­olesi telapak tangan yang lain dari tubuhnya sendiri. L.alu ia benar­benar menganggap hal itu jauh karena ia tidak mengetahui bagai­mana percabangan urat-urat, pangkalnya dan segi pelipatannya di tubuh.

Maka demikian juga urusan mengenai jalan akhirat, detail-detail sunnah syara', adab kesopanannya. Dan mengenai akidah­akidahnya yang mana manusia beribadah dengannya terdapat rahasia­-rahasia dan hal-hal yang lembut yang tidak di dalam kemampuan dan kekuatannya untuk meliputinya. Sebagaimana dalam kekhususan­kekhususan batu terdapat hal-hal yang mengagumkan yang mana tukang batu ilmunya tidak menjangkaunya sehingga seseorang tidak mampu untuk mengetahui sebab yang menjadikan magnit itu mena­rik besi.

Maka terdapat keajaiban-keajaiban dan hal-hal yang asing yang terdapat di dalam akidah-akidah, amal-amal dan mempergunakan­nya untuk kejernihan hati, kebersihan dan kesuciannya, dan mem­perbaikinya agar meningkat di samping Allah Ta'ala, dan menawar­kannya untuk memperoleh taburan karuniaNya adalah lebih banyak dan lebih besar dari pada obat-obat dan bibit obat-obatan.

Dan seba­gaimana akal terbatas untuk mengetahui kemanfa'atan obat-obat, sedangkan percobaan adalah jalan. Dan akal terbatas untuk menge­tahui apa yang berguna dalam kehidupan akhirat sedangkan perco­baan tidaklah menyampaikan kepadanya. Percobaan itu akan sam­pai kepadanya seandainya sebagian orang yang meninggal itu kem­bali kepada kita lalu ia memberitakan kepada kita  mengenai amal- amal yang diterima, berguna dan dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan sedekat-dekatnya, dan amal-amal yang menjauhkan dari padaNya.

Demikian juga mengenai akidah-akidah. Hal itu adalah terma­suk sesuatu yang tidak diinginkan. Maka cukup bagimu dari keman­faatan akal bahwa akal itu menunjukkan kamu untuk membenarkan Nabi SAW, dan memberi pemahaman kepadamu akan materi-materi petunjuknya. Setelah itu pencilkanlah akal dari penggunaannya dan tetaplah mengikuti di mana kamu tidak selamat kecuali dengannya (mengikuti) itu, tetaplah berserah diri. Oleh karena itu beliau SAW bersabda :

Artinya : "Sesungguhnya sebagian dari ilmu adalah kebodohan, dansebagian dari perkataan adalah tidak jelas ". 6)

Padahal sudah diketahui bahwa ilmu tidaklah kebodohan tetapi ilmu itu adalah memberi pengaruh seperti pengaruh kebodohan terhadap kemadharatan.

Dan beliau SAW bersabda :
Artinya : "Sedikit taufik (pertolongan Allah) adalah lebih baik dari pada kebanyakan ilmu ". 7)

Dan Isa as bersabda : "Alangkah banyaknya pohon-pohon itu namun tidaklah seluruhnya membuahkan. Alangkah banyaknya buah-buahan itu namun tidaklah seluruhnya baik. Dan alangkah banyaknya ilmu namun tidaklah seluruhnya itu bermanfa'at".

 dilanjutkan..
Penjelasan tentang apa yang diganti dari lafal-lafal ilmu.